Pesantren Tempat Tumbuh dan Dewasa

Esai Nabila El Fatikha

Bersyukur adalah salah satu hal terdekat sekali dengan kehidupan kita. Masuk pesantren  merupakan hal yang patut disyukuri secara luar biasa. Bagaimana tidak, di sanalah sebagian ilmu bermuara.

Ada pula yang beranggapan, pesantren adalah pinggirannya surga. Hal ini menggambarkan betapa pesantren merupakan salah satu tempat yang istimewa. Di sana kita hidup dengan sederhana. Kita belajar bermasyarakat dalam skala kecil dengan tempaan berbagai ujian untuk mendewasakan diri. 

Dulu, pengetahuanku tentang dunia pesantren sangat sedikit dan sempit. Aku tahunya, pesantren merupakan tempat orang untuk mengaji. Waktu itu sebagai anak desa, aku berpikir jika untuk mengaji saja, tentu tidak perlulah kita jauh-jauh ke pesantren. Di desa juga ada langgar atau surau untuk mengaji. Bagi kami anak-anak desa, mengaji di surau sudah cukup.

Sampai tibalah saya dinyatakan lulus dari madrasah tsanawiyah. Saatnya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ibu berencana memasukkan ke madrasah aliyah sekaligus ke pesantren. Terjadi perdebatan antara Bapak, Ibu, dan aku.

Awalnya, Bapak sempat ragu. Anak kecil seperti diriku akan dimasukkan ke pesantren. Tentu saja aku menjadi tim Bapak waktu itu. Aku dibayang-bayangi rencana tersebut sampai tidak bisa tidur.

Bagaimana ya nanti kalau di pesantren? Apa bisa makan enak? Bagaimana bisa berangkat sekolah tepat waktu kalau nanti apa-apa serba antre? Jangan-jangan nanti kalau tidak bisa mengaji bakal dimarahi Pak Kiai, takut juga nanti kalau dimusuhi oleh senior dan juga sederet ketakutan yang lain.

Akhirnya, dengan mantap aku datang di pesantren. Sehari, dua hari, aku sudah mendapatkan teman yang juga santri baru. Merasa senasib sepenanggungan, kami melakukan aktivitas bersama. Mulai dari mengaji, mencuci, hingga makan senampan bersama. Tak jarang pula kami menangis bersama karena rindu rumah.

Lucunya lagi, ketika libur panjang tiba dan aku pulang ke rumah, Ibu bercerita bahwa pada satu minggu pertama aku hidup di pesantren, rumah jadi sepi. Sampai-sampai setiap waktu jam makan, Bapak selalu berpikir bagaimana aku di pondok. Apa bisa makan? Apa bisa nyuci sendiri?

Bahkan Bapak jarang makan karena memikirkan anaknya. Mungkin, Bapak merasa terenyuh. Kemudian, Ibu menenangkan Bapak. Ibu meyakinkan bahwa aku pasti akan baik-baik saja. Pesantren melatih diriku untuk jadi mandiri dan lebih berani. Aku pun tertawa mendengar cerita itu.

Euforia di pesantren memang berbeda dengan di rumah. Di rumah bisa santai setiap waktu. Di pesantren kami harus disiplin, hidup sederhana, dan jauh dari kata nyaman. Awal mulanya memang susah beradaptasi. Mengaji ketinggalan, ngantuk, antre mandi dan mencuci pernah kehabisan air, masak nasi gosong, baju hilang di ghosob, dan lainnya.

Berbagai kejadian itu membuat satu sama lain menjadi dekat serasa keluarga. Segalanya baru disadari setelah keluar dari pesantren nanti. Banyak sekali hikmah yang dapat kita pelajari. Pengalaman tersebut dapat menjadi bekal hidup di masa depan.

Pesantren sebagai tempat membangun riyadhoh yang paling baik.  Pesantren adalah tempat tumbuh dewasa yang indah dan semoga kita mendapat barokah-nya. Aamiin.

***
Nabila El Fatikha (20 tahun), Santri PP. Al-Munawwir Kompleks Q Krapyak Yogyakarta. Ia berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Penulis dapat ditemui lewat Instagram: @nabilaelfatikha dan blog: nabilabercerita.blogspot.com