Pingitan Rindu Kampung Halaman

Cerita Nafisah Binti Hidayah

“Bawalah ranjang cokelat itu, Gurrobin, kemudian antarkan ke sawah encikmu dengan sepeda omamu.”

“Baiklah, Mak,” jawab Gurrobin sambil membenarkan sarung.

Iya, dia Gurrobin, dengan nama lengkap Gurrobin Zulmuki. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, berdarah Melayu, berbadan kurus, dan bergingsul satu.

Ia besar di keluarga sederhana, jauh dari kata mewah dan keramaian pasar malam yang murah meriah. Ia lahir dari rahim ibu yang sederhana pula, tanpa pangkat dunia. Ia memiliki ayah yang sederhana pula, hanya petani padi dan penggembala domba.

Akan tetapi, keadaan ekonomi keluarga, tak membuat Gurrobin patah semangat demi meneruskan masa depannya. Kakak-kakaknya pun sama, kakaknya yang sulung sedang melanjutkan pendidikan S-2-nya di seberang pulau, sedang kakak keduanya hampir menyelesaikan pendidikan S-1-nya dan sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan. Semuanya mendapatkan pendidikan lewat jalur beasiswa. Kini tinggal Gurrobin yang sibuk membantu ibu dan ayahnya di desa.

“Robin, Robin,” teriak Sholeh.

Sholeh adalah tetangga dekat Gurrobin, teman kecil hingga remaja ini.

“Iya, ada apa?” jawab ibunya Gurrobin.

“Eh, Encik. Gurrobin ada tidak, Cik?”

“Haduh Sholeh, Gurrobin baru saja keluar ke sawah Encik Mina. Ia mengantar makanan dan minuman untuk pekerja karena enciknya panen padi hari ini.” 

“Wah, kira-kira masih lama tidak, Cik?”

“Mau nunggu kau? Baiknya kau susul saja Robin! Nah pakailah sepeda encik ini.”

“Ah, terima kasih, Cik.” 

“Iya sama-sama,” sahut Ibu Gurrobin.

***

Gurrobin dan Sholeh adalah remaja 17 tahun. Mereka sama-sama berdarah Melayu, bersekolah di gedung yang sama, kelas sama, mengambil jurusan yang sama, juga memiliki hobi yang sama pula. Hobi mereka adalah berkutik dengan mesin.

“Robin,” teriak Sholeh dari pemantang sawah dekat sungai.

“Weh, ada apa pula kau Sholeh, teriak-teriak tak jelas seperti itu?”

“Sini dululah! Ada hal penting yang nak kukatakan ke kau. Sini, sini.” Majulah Robin menghampiri Sholeh.

“Nah sini, jika kau nurut ya, Robin, tampan kau nambah,” ejek Sholeh.

“Ah, kau,” sahut Robin.

“Aku punya ide untuk kau, untuk keluarga, untuk masyarakat kita semuanya.
Kau tatap Bapak dan Encik kau itu. Mereka memukul-mukulkan padi di atas kayu itu.” Sholeh membuka pembicaraan dengan nada serius.

“Iya,” sahut Gurrobin.

“Tak ibakah kau melihatnya?” tanya Sholeh.  

“Jelas ibalah aku, Sholeh,” sahut Robin. 

“Jadi begini Rob, kita sekolah di jurusan teknik mesin. Nah, syarat kelulusan juga harus bisa membuat satu alat yang dapat membantu masyarakat.
Bagaimana jika aku dan kau bekerja sama membuat alat pemisah biji padi dengan tangkainya?” 

“Tapi, Leh, kau tau ekonomi keluargaku. Kau paham betul keadaan orang tuaku. Tentu aku tak punya modal untuk membeli alat-alatnya.”

“Ah, tak usahlah kau binggung dengan modal itu. Semuanya serahkan pada Sholeh. Oke?”

“Okelah jika kau meringankan modalnya itu.”

“Tugas kau hanya merancang desain dan merakitnya. Gunakan otak jeniusmu!” sahut Sholeh dengan semangat. 

***

Matahari mulai membakar kulit-kulit yang di bawah paparan sinarnya secara langsung. Tanpa angin yang berembus, panas dan bau menyelimuti badan anak-anak yang bertubuh kurus itu.

“Gurrobin, sinilah berteduh sambil makan siang. Tak laparkah kau?” teriak Encik Mina. 

“Iya, Cik, sebentar,” sahut Gurrobin.

“Sholeh tak sekalian, Cik?” sahut Sholeh menggoda.

“Ah, kau ikut Robin sini, makan sama-sama.”

“Yeee …,” teriak girang Sholeh. 

*** 

Esoknya, Gurrobin diajak Sholeh untuk belanja peralatan-peralatan mesin di toko Sinar Jaya Kota.

“Robbin,” panggil Sholeh. 

“Iya, Leh, ada apa?” sahut Robbin. 

“Kau belanja apa saja yang diperlukan. Masalah biaya, kau tenang saja, nanti Sholeh yang bayar.” 

Maklumlah, Sholeh anak dari keluarga yang tercukupi. Ayahnya seorang juragan ayam dan domba, sedang ibunya mempunyai butik terbesar di kota kami.

“Haha, ambil semau dan sesukamu, masih ada bos di sini. Haha,” terbahak-bahaklah Sholeh sambil sedikit menyombongkan diri dengan mengeluarkan dompet.

“Ah, kau ini Sholeh,” sahut Gurrobin. 

Sesampainya di rumah, Gurrobin mulai sibuk dengan alat-alatnya, sedangkan Sholeh sibuk dengan handphone-nya. Ia mulai merakit, potong sana-sini, dan menyambungkan dengan las.

Gurrobin membutuhkan waktu 2 minggu untuk menuntaskan karyanya. Akhirnya, karya Gurrobin dan Sholeh telah jadi. Mereka melakukan uji coba alat di sawah Ecik Mina.

Esoknya, Gurrobin dan Sholeh melaporkan hasilnya kepada guru jurusannya. Mereka membawanya ke sekolah dengan angkutan milik bapaknya Sholeh. Pak Toba, selaku guru jurusan pun takjub dengan karya siswanya ini karena bentuk, bahan bakar, dan cara menggunakan yang unik. Inilah nilai lebih dari karya siswa desa ini. 

***

Besoknya, Pak Toba mampir ke rumah Gurrobin bersama bapak kepala sekolah. Gurrobin dan Sholeh kaget dengan kedatangan guru dan kepala sekolahnya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Pak Toba, Pak Joni. Silakan masuk, Pak,” sambut Gurrobin.

“Oh iya, iya. Wah, ada Sholeh juga di sini,” sahut Pak Toba. 

“Hehe. Iya, Pak, setiap hari Sholeh di rumah Robin, Pak. Sholeh menghabiskan makanan. Hehe …,” sahut Sholeh dengan cengegesan.

“Ada apa ya, Pak?” tanya Robin.

“Jadi begini, Robin, maksud Bapak ke sini untuk mengabarkan ke kalian berdua berita bagus.” 

“Wah apa ini, Pak?” Sholeh bertanya. 

“Begini Robin dan Sholeh. Bapak kemarin dapat info ada lomba kemajuan teknologi remaja di Maroko. Nah, Bapak mendaftarkan nama kalian berdua, sekaligus karya kalian.” 

“Apa Pak, Maroko?” Robin terkejut.

“Betul, Nak, Maroko”

Lusanya, Robin dan Sholeh berangkat ke Maroko didampingi Pak Toba. Selang dua hari, mereka di Maroko lomba pun diselenggarakan di Kota Maroko. Robin dan Sholeh mempresentasikan karyanya dengan lancar dan meyakinkan.

Akhirnya perlombaan selesai dan mereka menang dengan nomor urut dua. Mereka mendapatkan uang sebanyak 50.000.000 (lima puluh juta), medali, piala, piagam, dan penghargaan.

Ternyata salah satu juri internasional tadi, ada yang menyukai karya mereka dan terpikat dengan keunikannya. Ir. M. Fagiur Mindole selaku juri internasional mengajak bekerja sama selama satu bulan lamanya di Maroko. Pihak Robin pun menyetujuinya. Pak Toba pun tidak keberatan.

Akhirnya, ditinggallah Gurrobin dan Sholeh di negeri orang dan dipasrahkan ke Ir. M. Fagiur Mindole, sedangkan Pak Toba kembali ke tanah air karena masih banyak urusan yang harus dituntaskan.

Selama 2 minggu di Maroko, Robbin dan Sholeh dibimbing bermacam-macam cara dan ilmu oleh Ir. M. Fagiur Mindole, dan menemukan banyak hal baru di Maroko. Dari budaya, adat, makanan, bahasa masyarakat, dan lainnya. Selama itu, mereka tinggal di rumah Tuan Fagiur.

Hari menjelang malam, Gurrobin menikmati senja di balkon samping rumah. Tiba-tiba, Sholeh membuyarkan lamunan Robin.

“Rob, lomba ini bukankah di akhir bulan Juni?” 

“Iya benar Leh, ada apa?” 

“Sudah berapa lama kita hidup di negeri ini?” tanya Sholeh. 

“Sekitar 2 minggu, Leh,” sahut Gurrobin.

“Eh, kau tak rindu dengan negara kita?”

“Jelaslah, aku rindu, Leh, ditambah lusa adalah hari kemerdekaan bangsa kita, Leh. Di mana seluruh penjuru negeri itu akan merayakannya. Aku rindu, Leh.”

“Sama, Rob.”

“Senyaman-nyamannya aku tinggal di sini dengan fasilitas yang memuaskan dan  berbanding terbalik dengan keadaan rumahku. Namun, hati dan jiwaku masih tertinggal di negeri indah nan kaya itu, Indonesia.” 

“Sama, Rob. Aku rindu upacara, menyanyikan lagu kemerdekaan dan lomba-lomba itu, Rob.” 

“Esok bila pada masanya, aku dan kau kembali ke negara kita, berjanjilah untuk membanggakan negara kaya kita. Cinta kita ke tanah Minang lebih subur berkembang dan semuanya akan lebih, lebih, dan lebih Rob,” ajak Sholeh. 

“Iya, Leh, awak janji, tak ada tanding negeri seribu budaya itu.”

Akhirnya, mereka mengusap lengkung mata masing-masing. Mereka tak sadar butiran bening, sebening kristal mengalir melewati rongga mata bulat mereka. Karena rindu yang mendalam pada tanah air permai itu.

 

Cerita pendek ini merupakan cerita pilihan dari Lomba Menulis Cerpen dan Puisi Siswa MA Nur Iman, Mlangi, Yogyakarta dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75. 

***

Nafisah Binti Hidayah adalah siswi kelas 12 IPA di MA Nur Iman, Mlangi Yogyakarta.