Puisi Aksanitaqwim
Era Sembilanbelas
Bermula dari tirai bambu
Terpecah hingga menjadi bilahan
Menyebar, meluas, dan menyelusuri sampai ujung bumi
Ketakutan merajalela,
Melanda seluruh umat
Menggertak sistem yang telah ada
Mengusik keberadaan pengembara
Hingga terombang-ambing tanpa arah
Kiprahnya dunia mulai terbelah.
Aku pun keluar, menatap pada mereka
Tampang ceria, pengembara ilmu terlelang malang
Tampang bronto, setelah penantian panjang menciut
Lantas salafi yang mereka kejar tertutup
Tampang meratapi, dalam hati berkata:
“Djancuk!”
Dan sekarang tempat tinggal hitam
Bukan, bukan ulah makhluk itu
Tapi beberapa tangan picik
Yang berdiri di atas penderitaan orang
Menyelipkan puluhan isu dan sejuta kebohongan
Di atas kebenaran yang ada
Demi keberadaan kekasih pujaan
ialah Nafsu
Maka aku pun terbungkam tak bersuara
Di saat kebenaran dibelenggukan
Oleh ketidakpedulian
Oleh kejahatan
Oleh ketidakadilan
Sehingga,
Guru yang diagungkan tervonis hijau
Mengoyak naluri jiwa pengembara
Meruak otot tulang perwira
Mengobar derai kemarahan
Era Sembilanbelas tak sekalipun menggetarkan hati kami
Tak sekalipun menciutkan niat kami
Pada lembah kumuh sesak bus kota
Lautan terbentang mengelabui
Tenggelam dan terjebak sebagai tahanan
Pengembara pancangkan tubuhnya menyelami peradaban
Demi menggairahkan roh perjuangan yang lama telah tertimbun
Tampang yang diam-diam menambang impian
Mereka berteriak lantang dan mengucap:
“Selama Zaid masih berdiri, kami akan terus mengembara.”
***
Aksanitaqwim (20 tahun) merupakan santri Pondok Pesatren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS). Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Mazz Azzam atau Instagram dengan nama: @azzammouza.