Puisi-Puisi Dyah Ayu Pitaloka: “Romo Yai” – “Angan Putih”

Puisi Dyah Ayu Pitaloka

Romo Yai

Assalamualaikum Romo Yai …
Di sini kami membawa diri
Kulafalkan niat suci di hati
Tuk menjadi santri sejati

Bismillahirrohmanirrohim …
Kuberanikan diri
Menapak rumah berabdi
Menuntut ilmu padamu Sang Yai

Hadir, berucap, berpatah …
Berada tampak tak salah
Berjalan lurus bertuah
Hingga menuai berkah

Pagi, siang, sore, malam …
Kembali lagi … dan seterusnya
Tak henti kami berabdi terpatri
Tuk melawan kerasnya kenyataan ini

Mulai dari yang bisu, dan terdengar
Tulisan dan susara itu
Terucap huruf demi huruf
Terpampang di telinga kalbu

Aa … ba … ta …
itu yang kau sebut kehidupan
Oleh wahyu sang Kasih berkata
Menjelaskan isyarat tujuan kehidupan

Romo Yai …
Dirimu kuselami
Lautan hikmah yang tiada bertepi
Denganmu aku menjadi mengerti
Ajaran Islam yang hakiki

Saat kegelapan datang
Kau datang membawa secercah lentera penerang
Saat ku dalam bimbang
Kau datang tunjukkan jalan

Romo Yai …
Denganmu kusemakin mencintai
Keberadaan Sang Illahi
Dengan semesta kusadari

Di sini kami hadir bersamamu
Di pesantren kami berguru
Demi sepercik cahaya kegelapan
Kegelapan di zaman metropolitan

Sirnalah gelap terbitlah terang
Melalui tuntunan keislaman
Kau ajarkan arti kehidupan
Tuk menjawab arus tantangan kehidupan

Romo Yai …
Dengan berkat dan ridamu
Kan kuemban amanat dan harapmu
Semoga berguna bagi agama, nusa, dan bangsa
Bersama mereka pesantrenku tercinta

 

***

 

Yang Paling Berharga

Hadir rapi menyapa
Burung-burung bersiul memanja
Sorai berteriak memanggil sang awan
Terkejut diri tersiram hujan

Di balik tirai berdebu
Diamku berbalik senyum sendu
Hawa dingin menghalusinasi ruangku
Hanya diam bertatu

Di mana ruang hampa itu?
Kucari di setiap bilik tak berlutut bersimpu
Memanggil di setiap celah cahaya itu
Bersinar bagaikan kalbu

Tanpa disadari kau menyayat
Menyudahi semua yang terjadi
Menghalu pikiranku bertaut
Apa yang bisa kusudahi?

Bergumam menyebutmu
Tak berarti diriku
Kau sungguh berharga, berharga …
Hingga tak tahu, diriku juga berharga

 

***

Dongeng Simbah

Rintik hujan diam perlahan menetes
Menghapus jejak kemarin berlalu
Berderet terjal jalan mengaus
Berat terasa berderai menggebu

Tinggalkan kenangan
Semua berjalan sesuai waktu
Tak hanya melamunkan suasana baru …
Perlahan, tak berjejak, dan tak beranjak sekalipun …

Semua itu berlalu …
Bertiup bersama angin berembus
Mengembun bersama rintik hujan yang jatuh
Bergantung diri pada sang insan mengadu

Semua yang datang akan pergi …
Yang patah akan tumbuh kembali
Berbeda, pada siapa ia berani menetap
Berani hadir, pada satu titik tak berucap …

Diam menetap …
Bukan sayonara lagu
Tiba-tiba berubah
Tiba-tiba berbeda
Tiba-tiba hilang, asing ntah ke mana

Lucu skandal itu
Kau berjalan membawakan lagumu
Dan pada saatnya kau akan membisu
Panggil saja aku sesukamu
Aku masih tanggal seperti dulu

Semua berjalan sesuai waktu
Beliau berkata, jalani nduk, le …
Batinku mencuat, ini bukan dongeng anak-anak
Niscala kuberkata, pada saatnya …
Semua ini ndak apa-apa

***

Orang Asing

Beduk berdegur bersautan
Panggilan azan dari penjuru kota
Ramadan telah tiba
Hari raya sudah dekat

Rinduku mulai menggebu
Rasa ini mengadu tak tahu arah
Di mana aku sekarang
Tak lagi bersama

Bersua, berjalan, menatap ke mana?
Aku hilang arah …
Tak lagi sama,
Tak lagi bersama

Kini telah pupus semua itu
Hanya doa dan album itu
Menghias dinding langit di ruangku
Aku mulai memilu,

Hanya orang asing yang tak bersama
Hanya orang asing yang tak punya impian dan kerinduan
Mulai itu kuhanya berdengus
Menghabiskan kenangan masa lalu

Kapan keretaku menjemput
Bukan suara rel terngiang saja di kepala
Tolong datang bersama kabar bahagia
Dan sampaikan pada mereka
Aku tidak asing lagi ….

 

***

Angan Putih

Seratan kertas
Memupuk tinta tak bernyawa
Melebur dalam guratan putih bernoda
Berandai dalam satu pikir berkata

Sajak putih itu …
Membekas tinta hitam pekat
Merangai ingatanku tentangnya
Berbisik tulus meyakinkan

Kini telah sirna
Kertas itu kembali putih
Bersih tampaknya
Tanpa setetes tinta bernoda

Antik …
Mungkin terlalu lama dibiaskan
Benang kertas itu tertutup rapat
Hingga pada akhirnya tak sempat dilihat

 

***

Dyah Ayu Pitaloka (17 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren AL MIFTAH MLANGI Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Dyah Ayu Pitaloka atau Instagram dengan nama: @dyahayupltk_.