Puisi-Puisi Hamadya Hilma: Aku Ingin – Bagaimana Caraku Dulu Mencintaimu, Madura

Puisi-Puisi Hamadya Hilma


Aku Ingin


Aku tak ingin mengucapkan
Selamat tahun baru
Karena bagiku,
Penggali liang lahat itu
Semakin hari semakin bertamu dengan waktu

Aku tak ingin mengucapkan
Selamat tahun baru
Karena bagiku,
Semakin hari semakin nyata diri-Nya
Dengan penggali liang lahat itu.

***

Bagaimana Caraku Dulu Mencintaimu, Madura

Desir ombak pesisir selatan rumah kita
Jeling mata yang menambat
Pasang-surut air itu
Aku semakin ragu
Adamu dan tiadamu, Madura
Namun, cinta mengumumkan:
Engkau ada (1)

Di tepian, di muka rumah kita
Ayunan sampan yang senantiasa
Dibanting keras air asin laut permai
Selalu saja buat bising
Telingaku punya, setiap
Cahaya bulan memantul
Benderang pada larut malam
Selepas mataku meninggalkan kantuk
Mentahajudkan selat kau punya
Agar senantiasa gagah perkasa
Dengan sekonyong ombak menghardik angin

Lagi-lagi perantauanku yang
Telah membekas tapak rindu jalan
Melepas seluruh jiwa tanpa
Kenangan yang kujual
Pada terik matahari di balik awan
Di atas kepalaku,

Aku menyadari bahwa
Cinta atas tanah kapur, utara
Selat Madura, telah
Tertanam sejak riak tangisku dahulu
Menggema memecahkan sunyi
Hingga akhir batas perpisahan jiwa
Dan ragaku menghentak lubuk
Hati, menampakkan cinta

Lantas ungkapan
“Cinta tidak menyadari kedatangannya,
Sampai ada saat perpisahan” (2)
Adalah benar adanya
Hingga apalah dayaku perbuat
Atasmu
Sampai aku lupa bagaimana caraku dulu mencintaimu, Madura
Bakau kau punya, yang
Dihantam oleh pengembala (3)

Sebelah rumahku
Tanpa teguran terucap dari kering bibir ku punya,
Lantas, bagaimana caraku dulu mencintaimu, Madura
Bukankah sumpah serapah nenak moyang yang kau percayai sebagai
Ajimat kehidupan
Adalah bibit subur sebuah kebodohan
Hingga makan lauk-pauk lebih
Banyak daripada nasi (4)

Merupakan hal yang terlarang
Lantas, kebodohan mana yang kau dustai itu

Madura, bagaimana caraku dulu mencintaimu
Di tempat perantauanku

Kota-kota besar menjulang tinggi merupakan pertemuan yang mengecewakan (5)
Bagaimana kota kau punya
Tiada batas dirundung suap
Menjadikan desa di tempat perantauanku,
Adalah kota di mana tali pusarku
Ditanam senyawa dengan roh-roh
Samista alam sana

Lantas, bagaimana caraku dulu mencintaimu, Madura
Hari-hari akhir bersamamu
“Dengan tegas kunyatakan diri sebagai musuh
Dari siapa pun, yang berniat menjadikan kita orang
Eropa dan menginjak-injak adat istiadat dan
Kebisaan kita yang suci” (6)

Dan rekaman itulah yang aku ingat sebelum akhir perpisahanku
Denganmu,
Melepas rindu menapak tilasi
Tanah kapur gersang itu

Lantas, bagaimana caraku dulu mencintaimu, Madura

Cacatan :
1: Merupakan gubahan kalimat dari Muhammad Iqbal.
2: Merupakan gubahan kalimat dari Kahlil Gibran.
3: Dalam adat istiadat rumahku, sebagai anak pesisir. Bakau-bakau yang ditanam di laut, selalu saja diambil oleh para pengembala nakal yang tak tahu-menahu.
4: Sejak aku kecil, oleh nenekku sering diperingatkan untuk tidak memakan lauk-pauk lebih banyak daripada nasi. Karena menurut yang ia tutur kata kepadaku, hal tersebut merupakan perilaku yang buruk. Namun setelah menginjak kelas enam SD, bapakku berucap bahwa hal itu merupakan kebohongan yang dilestarikan oleh leluhur demi menghemat uang yang mereka punya.
5: Mulai aku mengembara ke Jawa desa-desa di sana hampir menyerupai kota besar di kampung halaman berada. Hingga merupakan pertemuan yang mengecewakan bagiku bagaimana kampung halamanku selalu melakukan praktik suap-menyuap.
6: Merupakan penggalan pidato Sosrokartono di Belgia pada September 1899 dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25. Yang mana ungkapan tersebut hampir menyamai keadaan sosial di kampung halamanku pasca dibangunnya jembatan Suramadu.


***

Hamadya Hilma (16 tahun)  adalah nama pena dari Faizis Sururi. Ia merupakan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Ia berasal dari Kaduara Timur-Pragaan Sumenep, Madura. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: FAIZ_IS.S.