Puisi-Puisi Muhammad Akbar Febriansyah

Puisi Muhammad Akbar Febriansyah

TERLAHAP RANJAU NERAKA

Sudah kulakukan semua turutan setan,
yang ingin meluka hati pula menyiksa diri hingga perih lagi 
pedih pun turut hadir di sini 
temani setan yang membelenggu hati.

Pedih sudah ada sejak dini
terawat rapi dalam lara
terasuh nyaman dalam derita
membilas kasih dalam duka
merampas belas dalam panas.

Hati yang ingin menyiksa diri
terhuyung setengah jiwa
melayang ke alam baka.

Sadar setengah sadar tapi kutetap tak sadar
hidup setengah hidup tapi kutetap tak hidup. 

Ada setengah ada tapi kutetap tak ada
hanya setengah dari setengah lalu tak berselang lama hangus semua
sudah tiada selamanya dilahap ranjau neraka
buat tubuh cerai kacau ke mana-mana.

Kusudahi saja hidup ini tapi batin selalu mencegah

”Terus hidup jangan surup
terus ada jangan tiada
meski tubuh hormat sudah tiada
tetap harus ada dalam dunia
berlaku masa aktif cuman sementara,”

katanya dengan seyakin-yakinnya.

2019

***

HARGAKU HANYA SERIBU

Satu rupiah
Awal rambut hingga mata kuku
Semuanya dirasa semu
Nyawa pun seakan berlalu
Seakan daku terlempar malu

Sepuluh rupiah
Diriku seakan mengeluh
Akan keringat darah yang terkucur
Hingga cacing pita pun subur
Dalam badan yang agak gembur

Dua puluh rupiah
Dua tiang yang tegak
Selalu berdiri siap dan tak bisa bergerak
Saat aku sedang tergeletak
Tiba-tiba panggung jiwa menggertak-gertak

Tiga puluh rupiah
Tiga rasa yang saling menyatu
Buat mata begitu haru
Oleh rasa rindu pada awan yang tersipu
Selalu menyelimuti tubuhku hingga purnama tersayup tidur

Empat puluh rupiah
Aku tak begitu mahal
Dijual oleh para pedagang
Putar keliling layaknya hulubalang
Putar-putar hingga bianglala turut berputar

Lima puluh rupiah
Apakah kamu tahu harga badanku?
Apakah kamu tahu eceran jiwaku?
Apakah kamu tahu bingkisan nasibku?
Satu ataukah sepuluh ataukah tak tahu
Aku hanya tahu
Bahwa Kamu tahu semua itu
Ya … Kamu yang Maha Satu

Enam puluh rupiah
Aku tahu diriku sungguh malu
Terhadap yang mengendalikan nyawaku
Layaknya boneka dagelan zaman dahulu
Ku bersembunyi pada semak belukar
Yang jelas-jelas sungguh samar
Tapi mustahil baginya tuk samar
Yang jelas dari sejelas-jelasnya
Hingga jelas terbagi menjadi tujuh belas
Ya … hanya Kamu yang Mahajelas

Tujuh puluh rupiah
Benda hina tak berguna
Dibakar jadi abu belaka
Yang sering berbuat fitnah
Tuk terus sakiti sesama
Hanya hamba yang pernah
Dari khalayak berjuta manusia

Delapan puluh rupiah
Cuman laku segitu
Apa itu sudah pernah?
Apa khalayak semua sudah terasa?
Mungkinkah aku yang durjana
Hanya baginya yang jelas akan semuanya
Dalam sewindu kegelapan yang amat ketara

Sembilan puluh rupiah
Siapakah aku?
Dari rumah yang jauh
Tampak gerangan yang tersipu malu
Muasal diriku entah darimana tempatku
Matahari kembar selalu bersedia merawatku
Hingga jembatan sihir dipenuhi bulu-bulu
Kasih yang selalu mendampingiku
Maka aku tahu bahwa hargaku …

Seratus rupiah
Berdiri kumeniti cita nanti
Serbuk plum salju terus mengarungi
Lautan darah yang niscaya
Berubah lautan tinta pena
Sudah segitu banyakkah keringatku?
Bersepuh emas warnanya
Tubuh ringkih tindakannya
Hingga wajahku
Sisa lilin yang merah fana’

Dua ratus rupiah
Aku mau masuk surga maya
“Jangan niscaya kamu akan luluh lantah,” katanya di sebelahnya
Bingung mendengung mengaduh rintih kegirangan
Menjelang kematian
Aku hanya terbayang dalam sawang angan
Mengelupas wajah hingga lari tunggang langgang
Takut burung gaib pencabut nyawa datang

Tiga ratus rupiah
Tulang penopang tubuh sudah berdaging rapuh
Hati ingin mengeluh dan selalu mengeluh
Rasa batin yang selalu berkata, ”Runtuh tolong bina aku”
Hatiku tak tenang memandang kelamnya malam
Diterkam mati oleh pedang maha seribu

Empat ratus rupiah
Angin tanpa mata mesti hinggap dalam duri
Rahim angan-angan mesti menetap dalam hati
Taring maut menggemetar dalam raga
Datanglah pacu kuda berpercikan api nyala
Kereta kencana berselimut merah lara
Tibalah kurir dari neraka

Lima ratus rupiah
Kuhunjamkan pedang pada kurir
Yang sangat buat hatiku takut
Jadi nisan yang tak terbentuk
Berkaburan hingga suasana pun samar
Aku akan lari dan tak kan mati
Kan kubunuh kurir berbaju api
Hingga diri meraih adanya arti

Enam ratus rupiah
Aku hamba yang sial
Tertimpa api darah sejumlah limbah
Hingga badan berlapuh lumpuh
Pil siput terbang kumakan
Dengan rasa yang senang
Rubah jadi nasib sial
Jadilah nasib yang andal

Tujuh ratus rupiah
Satu kebahagiaan dalam rerumitan seribu kesulitan
Mengais seribu satu langit dengan kalam yang tersandi
Ranting harap mesti mengarungi marwah langit
Slalu berputar pada poros-poros surya
Tak kan hilang sebelum manusia pulang

Delapan ratus rupiah
Kusepah harapan dengan juang
Bertarung lawan setan tak karuan
Menghadang biro wisata kematian
Menjemput nyawa yang takut gemetaran
“Pergilah jangan kemari atau kubunuh saat ini,” kataku menatap perih
Hingga kurir api mundur berlalu

Sembilan ratus rupiah
Aku tiba di kereta sucimu
Mengharap semesta kedamaianmu
Menghamba tuntunan kebajikan
Impian yang begitu terkekang
Mengharap guru-guru keilmuan
Agar diriku tak tabu
Agar ragaku tak bisu
Agar jiwaku tak rapuh
Agar nyawaku tak saru
Agar akalku tak malu
Agar hargaku bukan seribu

Seribu rupiah
Aku tak mau jadi itu
Jadi musuh yang tak ditakuti
Oleh khalayak ciptaan-Mu
Aku tahu …
Aku rapuh
Aku tahu …
Aku saru
Aku tahu …
Aku tabu
Aku tahu …
Aku buntu
Aku tahu …
Aku malu
Aku tahu …

Hargaku memang seribu

2019



***

Muhammad Akbar Febriansyah (18 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran, Lamongan. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Ahmad hamdar riansyah atau Instagram dengan nama: @hamdar_riansyah.