Puisi Muhammad Saukani
Menolak Lupa
Saat awan berarak dan langit mengubah,
dari putih dan jingga menjadi hitam,
semua orang mulai pergi meninggalkan,
tinggal aku yang menatap tajam.
“Mengapa semua menolak lupa?”
gumamku sambil memegang kepala,
jika saja mereka tahu tentangnya,
mungkin segala rindu akan lepas binasa.
Coba tengok dan rasakan,
kepekatan warna dan rembulan,
berbisik di telingamu dengan pelan,
sungguh, tiada bandingan.
Amuntai, 14 Juli 2020
***
Aku, Dia, dan Malam
“Semesta akan selalu ada untukmu,”
ungkapnya dengan menepuk bahu,
awal jumpa di titik temu,
batin terasa dingin membiusku.
Silaunya masih terbancang di mata,
kepada lintang ‘ku mengakui cinta pertama,
di mana hitam melebur dengan rona,
hingga asa menjadi ketenangan jiwa.
Sungguh,
malam yang penuh cerita pelipur,
aksa pun bangkit dari sebuah tidur,
menemaniku agar selalu bersyukur.
Amuntai, 14 Juli 2020
***
Lampion Ungu dan Malam
Siluet hitamnya seakan mengiba
Bak menusuk raga perlahan
Lalu, aku terbangun
Dengan rasa penuh ketakutan
Di sisi cakrawala yang gelap gulita
Meminta diriku untuk menyalakan
Sebuah lampion ungu penerang malam
Sebagai pelita di tengah kebisuan
Bisu sebab selalu gagal mencari ketenangan
Mengarah langkah sambil memegang kelam
Nyala api sebagai tangan kanan
Mampukah selamanya menjadi tumpuan?
Namun, setelah padam
Tangan kananku terasa tidak berdaya
Oleh suasana hening tidak bernyawa
Tangan kiriku terasa erat merangkul
Oleh keadaan diri yang sedang memikul
Beban-beban pikiran
Menyiksa sampai ke ubun-ubun
Bergulir menarik nalar
Lalu, berhenti dalam hati setengah tegar
‘Kugapai apa yang ada
Sebab raga ini telah patah dibuatnya
Andai ‘ku bisa menepuk gelap
Mungkin derita ini sudah lama lenyap
Amuntai, 14 Juli 2020
***
Muhammad Saukani (18 tahun) ialah santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Amuntai Tengah, Kalimantan Selatan. Penulis dapat dijumpai di Instagram dengan nama: @muhsaukani.16.