Pujian dari Manusia

Cerita Muhammad Saukani

Ayam mulai berkokok dan embun pagi berguguran di rerumputan.  

Aku menatap semua embun, berkilau seperti mutiara di jendela kamar. Sambil menghirup udara segar, aku berucap, “Alhamdulillah …. Aku menikmati kuasa-Mu, pagi hari ini.”

“Tok tok tok.”

Terdengar suara ketukan dari pintu ruang tamu. Aku segera berjalan dan membukakannya.

“Assalamualaikum, apa kabar, Ilham?” tanya seorang laki-laki menggunakan peci putih. Ia memiliki tubuh yang tingginya sama denganku. 

“Waalaikumussalam warahmatullah, alhamdulillah sehat. Kamu Adi, kan?” aku balas salamnya seraya aku bertanya untuk meyakinkan hatiku.

“Alhamdulillah, iya, Ham. Aku Adi. Kita sealumni di Madrasah Ibtidaiyah dulu. Masa kamu lupa sama aku, Ham,” sahut Adi meyakinkanku.

“Hehe bercanda kok. Masuk, Di! Duduk sini!” perintahku.

“Iya. Sekarang aku sekolah di pondok pesantren. Aku mau belajar agama sama seperti kamu. Aku iri denganmu, Ham, setiap kamu azan di surau pasti orang-orang memuji suaramu yang indah itu,” ungkap Adi sambil tersenyum padaku.

Aku terasa mendapat pujian dari Adi. Namun, aku harus membuang rasa itu sebab hanya Allah yang berhak dipuji bukan diriku.

“Setiap kamu baca Al-Qur’an, lantunan dari bibirmu itu indah sekali dan panjang pendeknya juga sangat sesuai. Keren sekali, Ham,” ungkap Adi lagi kepadaku.

“Terima kasih, Di. Kamu juga pasti bisa. Semangat terus belajarnya ya!” ucapku menyemangatinya.

Setelah ucapan itu aku lontarkan, aku langsung mengalihkan pembicaraan  sebab pujian dari manusia hanya akan membuahkan dosa.

Amuntai, 24 September 2020

***

Muhammad Saukani atau akrab disapa Isau (18 tahun) merupakan santri dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Amuntai Tengah, Kalimantan Selatan. Ia pernah ikut berbagai antologi puisi, dalam buku yang berjudul Sepetik Bunga Sepetak Tanah Banua (2020), Sajak Sahabat dan Jarak (2020), Merangkai Rasa di Ujung Pena (2020), Goresan Aksara Anak Bangsa (2020). Penulis dapat ditemui lewat akun Instagram dengan nama: @muhsaukani16.