Ragam Tradisi Nisyfu Sya’ban di Indonesia

Esai Kholilah

Nisyfu Sya’ban termasuk hari besar dalam Islam. Sebagian besar mayoritas umat muslim di dunia memperingati dengan berbagai tradisi.  Di setiap daerah bahkan negara memiliki ekspresi keberagaman tentang Nisyfu Sya’ban.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia banyak tradisi di berbagai daerah, seperti di Pekalongan, Cilacap, dan Aceh. Setiap tradisi yang ada di Indonesia biasanya identik dengan kebersamaan sanak keluarga dan kerabat juah. 

Di Aceh ada tradisi Muegang. Muegang merupakan tradisi membeli dan mengolah daging untuk disantap bersama keluarga, tradisi ini hampir mirip di Pulau Jawa. Di Jawa biasa disebut dengan Rewahan sedang jika di Pulau Madura biasa disebut Rebbe’en. Perbedaannya terletak pada saat kapan dan bagaimana cara mereka berbagi olahan daging tersebut.

Berbeda halnya dengan tradisi Balimau yang terjadi di Pulau Sumatra khususnya Sumatra Barat. Pada saat Nisyfu Sya’ban mereka akan mandi dengan air jeruk yang dilakukan di sungai-sungai tertentu. Tradisi ini juga berlaku di Riau dan Bangkabelitung. Mereka percaya dengan melakukan hal tersebut akan membersihkan diri lahir batin.

Kemudian bagaimana hukum melakukan tradisi-tradisi tersebut? Berbedakah jika kita merayakan Nisyfu Sya’ban dengan berdoa dan melakukan peribadatan yang lebih membuat kita taqarraub kepada Allah Swt.?

Sebagaimana telah dijelaskan di kitab Syekh Allamah Allawi yang berjudul Madza fi Sya’ban. Bahwasanya, puasa di siang Nisyfu Sya’ban merupakan salah satu dari puasa yang sunah.  Seperti halnya selawat dan berdoa memohon ampunan kepada Allah Swt.

Menanggapi hukum tradisi tersebut masih banyak khilafiah yang terjadi di dalamnya. Seperti dalam hukum perayaan-perayaan Maulid Nabi di Indonesia. Namun, selama ada maslahat yang masih bisa kita ambil dari tradisi-tradisi tersebut boleh saja tetap dilestarikan. 

Tradisi-tradisi dapat  menumbuhkan rasa persaudaraan di antara muslim. Sebagaimana semboyan Nahdlatul Ulama dalam mengomentari tradisi-tradisi di Indonesia.

و الاخذ بالجديد الاصلح ” المحفظة على القديم الصالح”

Namun, bila akan timbul kemusyrikan, alangkah baiknya agar tradisi tersebut dihapuskan agar tidak mengundang malapetaka dan murka Allah Swt.

***
Kholilah (18 tahun) merupakan santri Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: khulailah atau Instagram dengan nama: Bihurin_in.