Republik Celurut dan Makanan yang Hina

Cerita Muhaimin Rizal

Kalian ingin tahu kenapa si Rendi memakan sesuatu dari tong sampah dengan rakus begitu?

Oke, begini kisahnya …

Kemarin, aku, Rendi, dan teman-teman satu kamar sedang menjalani hukuman yang begitu sakral. Mujurnya, hanya disuruh membantu meratakan gundukan sampah di tempat pembuangan sampah (TPS). Itu sudah lumayan, daripada mendapat hukuman cebur ke dalam waduk tinja dan digundul.

Berbeda dengan Rendi, anak pindahan yang satu hukuman, satu kamar, dan satu-satunya yang menyebalkan. Anak baru selalu menganggap semua hukuman sebagai sesuatu hal yang memuakkan. Namun, ia adalah penyebab  semua itu.

Rendi lupa membuang sampah ke dalam gerbong sampah berwarna kuning, kemarin pagi. Kenapa Rendi harus membuang sampah? Ini adalah piket wajib bergilir bagi setiap kamar untuk membersihkan asrama. Apabila terjadi alpa, akan mendapatkan hukuman ke TPS.

Hukuman diberikan bukan karena tidak piket satu kamar atau sebagian anak, melainkan satu anak saja tidak piket maka seluruh anak dalam satu kamar kena hukuman.

***

Ya, kini kami yang berjumlah tujuh belas anak diangkut truk sampah tanpa gerbong menuju TPS. Wajah Rendi mencucurkan keringat sepanjang perjalanan. Kepalanya tak berhenti menoleh ke belakang dan ke depan, seakan ada sesuatu yang tertinggal. Waktu itu mungkin dia merasa berada dalam dimensi yang berbeda, seyogyanya tak ada siapa pun di sana.

Rendi seperti merasa bersalah karena membuat kami dihukum.  Rendi merasa muak karena harus menghadapi kenyataan bersenggama dengan sampah. Bau sampah membuatnya tak henti-hentinya meludah di atas truk. Di sisi lain, kami–kecuali si Rendi–sedang bercanda ria penuh gelak tawa. Kami saling mendorong dan melontarkan lawakan, tanpa takut akan terjatuh ke bawah.

Sesampainya di TPS, berdiri seorang lelaki tua, sebut saja dia Pak Sampah. Ia menunggu kami dengan kostum serba warna biru. Mulai dari topi, baju, celana hingga sepatu bot semua bewarna biru.

Setelah sampai beberapa meter di depan Pak Sampah, kami langsung saja disuruh berbaris. Di depan kami telah ada sembilan garpu dengan ukuran yang berbeda dan beberapa sarung bekas tergeletak di sampingnya. 

Ia hanya menjelaskan sedikit tentang apa yang harus kami lakukan dengan benda yang kami pegang. Sembilan garpu besar untuk mencakar sampah dan  sarung-sarung bekas untuk mengangkut sampah. Kami memindahkan sampah dari yang menumpuk ke yang lebih rendah dan memilah sampah yang susah terurai.

Sebenarnya tujuan kami hanya meratakan bukit-bukit sampah itu hingga menjadi dataran dan benar-benar datar. Jika perlu semacam dataran lapangan sepak bola supaya kami bisa bermain bola sepak dengan leluasa di atasnya. Namun hal itu tidak memungkinkan dengan waktu yang terbatas, kalaupun kami dipaksa hanya akan menguras tenaga.

“Jadi, cukup 3 jam saja ya, Anak-anak!,” jelas Pak Sampah itu dengan nada remeh.

Sampah-sampah berdesakan sejauh netra memandang. Rendi membanting garpu sepanjang dua meter yang ia pegang sembari memuntahkan sumpah serapah. Baginya tak ada yang istimewa dari hukuman ini, panas dan bau  menyelimuti kakinya setiap kali melangkah. Meski muak, ia tetap harus menjalani hukuman ini.

Rendi menancapkan garpunya ke depan. Ia menarik dengan kuat sampah-sampah itu ke belakangnya. Uap hangat mengepul ke atas, melewati sela-sela sampah selepas ditarik dengan garpu. Entah kenapa sampah-sampah itu bisa begitu hangat dan menguap.

Mata Rendi mulai merebak, isi perutnya pun memaksa ingin keluar. Akhirnya ketika tancapan dan tarikan yang kesekian kalinya, ia mendapati sebungkus nasi yang mulai mencair. Mulutnya menyemburkan seluruh makanan yang ia cerna pagi tadi.

Ia kembali membanting garpu yang ia pegang, seakan ketika ia melakukan hal itu rasa muaknya perlahan berkurang. Ia mulai berpikir untuk kembali ke pesantren, tak peduli meski harus berjalan sepanjang 3 kilometer.

Saat mundur selangkah ke belakang, ia terpeleset ke dalam sebuah lubang seukuran badan. Sekelilingnya tertutup oleh tumpukan sampah, sehingga tidak tampak ada lubang di sana. Ia terjatuh dalam lubang itu hingga tertidur di dalamnya.

***

Saat bangun, ia berada di sebuah kota besar dengan ribuan tikus celurut yang berlalu-lalang. Mereka berjalan, berbicara, memakai pakaian dan melakukan aktivitas layaknya seorang manusia. Ukurannya sepuluh kali lipat lebih besar dari manusia dewasa.

“Heyy ….”

Rendi kesal disertai rasa takut karena badannya sedikit berguncang setiap kali kaki tikus-tikus itu menyentuh permukaan tanah. Akhirnya, ia memberanikan diri berteriak di dekat salah satu kaki tikus yang sedang berjalan.

“Pak, di mana ini?”

Ia tidak tahu harus memanggil tikus-tikus itu dengan sebutan apa. Ia merasa begitu tolol karena tikus tidak mengerti bahasa manusia.

“Ya? Siapa itu yang bertanya?”

Rendi dibuat terkejut oleh tikus yang menggunakan bahasa menyerupai bahasa manusia. 

“Di bawahmu,” teriakannya kini sedikit melengking.

Setelah tikus celurut raksasa tersebut melihat Rendi, ia malah terkejut, seakan menemui seekor binatang yang amat menjijikkan. Ia malah balik bertanya.

“Kamu seekor manusia? Bagaimana bisa kamu berbicara dengan bahasa tikus?”

Rendi hanya diam mendapati tikus itu mencuri pertanyaannya yang belum sempat terucap. Di pikirannya sekarang hanya ada sebuah gertakan untuk tidak macam-macam agar tubuh remajanya tidak dikunyah mentah-mentah oleh tikus raksasa itu. Menurut buku biologi miliknya, tikus itu omnivor.
Namun setelah itu, tikus seakan tahu apa yang dipikirkan Rendi lewat wajahnya.

“Jangan takut, aku tidak makan manusia, katakan saja yang ingin kau katakan.”

Akhirnya Rendi bertanya tentang semua hal yang ada di depan matanya. Semuanya. Akhirnya ia tahu bahwa kota itu bukanlah sebuah kota, melainkan sebuah negara. Semua bangunannya tidak berakhir dalam batas pandang bola matanya.

Si Tikus Celurut raksasa ternyata bernama Dayat. Ia menjulurkan tangan persis di depan wajah Rendi. Rendi hanya bisa menuruti maksud tersirat Dayat. Kini, Rendi berada dalam kedua tangan Dayat, seperti tangan ketika sedang berdoa. Tangan Dayat kemudian meletakkan Rendi ke dekat telinganya.

Rendi duduk di atas bahu Dayat. Sekarang Dayat terlihat seperti sedang memikul sesuatu yang tak terlihat di bahu kirinya. Ia berjalan dengan membawa Rendi. Entah ke mana tujuan si Celurut itu, Rendi tak menanyakan hal itu karena sibuk dengan seribu pertanyaan lainnya.

Negara ini begitu istimewa karena tidak ada sekeping sampah tampak di jalanan. Tikus satu dan tikus lain ramah menyapa. Tak ada kata macet di sana. Tikus-tikus berdasi turun dari angkutan umum dengan santun. Mereka masuk ke gedung-gedung yang menjulang tinggi. 

 “Di duniaku, tikus berdasi dijadikan sebuah simbol seorang koruptor tingkat tinggi.”

“Apa itu koruptor? Tak ada kosakata seperti itu di sini.”

Lepas Rendi menjelaskan tentang hal itu, Dayat balik menjelaskan. Di sana sistem pemerintahannya begitu stabil, tak ada iri hati sehingga sesuatu yang disebut korupsi itu tak pernah ada. Wakil tikus (presiden negara tikus) begitu merakyat, bukan menikus.

Usai percakapan panjang antarmereka berdua. Sebelum Rendi sempat bertanya, Dayat menutup percakapan dengan memberitahu bagaimana bisa dunia mereka begitu sempurna. Jawabannya hanya satu: makan sampah.

“Sampah plastik juga?” Rendi memotong.

Dayat tertawa terbahak-bahak, “Yaiyalah, semua sampah. Kalau kiranya tidak bisa ditelan, ya dipotong kecil-kecil.”

***

Mereka akhirnya sampai di suatu sawah. Padi-padi menunduk takzim, imannya tak tergoda sedikit pun meski dirayu angin. Pondok kecil sebagai tempat istirahat bagi tikus-tikus yang bekerja sebagai petani. Di dekat pohon apel yang rindang terdapat sebuah tali panjang yang menggantung, seakan terikat ke langit biru yang begitu tinggi.

Dayat menurunkan Rendi perlahan-lahan, lalu berbisik, “Cepat panjat tali kecil ini. Ini akan membawamu kembali ke duniamu. Kamu terlihat begitu gemuk. Jika tikus lain tahu, kau akan dimakan hidup-hidup. Awalnya aku pun berpikir ingin memakanmu. Namun, melihatmu bisa berbicara, selera makanku menjadi hilang. Karena biasanya makhluk sepertimu hanya berbunyi, ‘Cit … cit … cit … cit.

***

Muhaimin Rizal (18 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid (Paiton-Probolinggo). Penulis adalah siswa kelas 12 MA Nurul Jadid. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @kamuhai_.