Sabuk Hitam

Cerita Slamet Makhsun

Di depan teras pondok, angin sepoi-sepoi malang melintang. Di antara rerimbunan pohon bambu, angin itu telah menemaniku. Pikiranku berada di antara kebingungan dan penyesalan. 

Sabuk hitam dalam genggamanku ini adalah biang masalahnya. Berhari-hari aku latihan. Seuntai sabuk hitam dan tropi penghargaan menjadi pertanda kenaikan kelas silatku. Memang,  aku ingin mempersembahkan sabuk hitam ini kepada pondok pesantrenku juga orang tersayang, yaitu bapak ibuku.

***

Sejak dulu, kejuaran silat antarpesantren menjadi momok yang mengerikan bagi almamater pondokku. Pasalnya, sekeras apa pun latihannya, selincah apa pun jurus yang dikuasai, ketika pertandingan pondokku tetaplah kalah. Aku tahu bahwa sepuluh tahun silam pondokku pernah menjuarai, tetapi setelah itu kalah dan kalah.

Sekarang, momok yang mengerikan itu telah aku tepis. Kejuaran telah aku raih. Meskipun tingkat pondok pesantren se-Jawa Tengah, hal itu tetap terasa biasa di hadapan kedua orang tuaku. Padahal aku begitu bangga terhadap silat dan prestasi yang baru saja aku raih.

Teman-teman seperguran silatku bangga apalagi teman-teman pondokku. Mereka merayakan dengan riang gembira, bahkan aku diundang ke ndalem (rumah pengasuh pondok).

Suatu malam selepas aku juara, pengasuh pondokku mengundang dan menjamu dengan makan malam yang nikmat. Acara tersebut sebagai tanda terima kasih atas kemenangan kejuaraan silatku. Suatu kehormatan yang sangat besar bagi para santri jika diundang untuk makan malam di ndalem dan aku telah mendapatkan itu. Aku merasa sangat bahagia. 

Semua kebahagian tersebut tetap saja membuat diriku resah. Aku tidak dapat menghilangkan kerisauan perihal kedua orang tuaku. Mereka tidak suka jika aku aktif di silat. Mereka menginginkan supaya aku fokus di sekolah dan pondok.

Aku tidak pernah belajar karena setiap hari jadwalku padat dari mulai sekolah, berlatih silat, ngaji (walaupun sedikit), dan istirahat cukup. Parahnya, kejuaraan silat ini diadakan bertepatan ketika menjelang ujian nasioanal. Nilai-nilai raporku turun drastis. Try out-try out ujian nasional tidak pernah aku kerjakan maksimal.

Aku mendapat setumpuk surat peringatan dari sekolah. Nilai-nilaiku bobrok semua. Harapan untuk membahagiakan kedua orang tua telah pupus.

Aku masih ingat ketika seminggu setelah kejuaraan silat, aku langsung ngebut belajar untuk persiapan ujian. Namun, ketika aku mengerjakan ujian, aku bingung mengerjakan. Banyak soal sulit dipahami dan terpaksa aku menggunakan ilmu ngawur.

***

Otakku berasa ingin pecah, air mataku mulai mengalir deras.

“Ya Allah, cobaan apa yang kau berikan padaku ini, sungguh berat. Aku tidak tahan jika melihat raut wajah kedua orang tuaku sedih. Sekarang, mereka murung karena aku akan mendapat nilai buruk. Itu berarti aku tidak bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri,” batinku dengan menahan kesedihan.

Air mataku mengalir benar-benar deras. Bajuku basah dan mataku memerah. Penyesalan diriku membayangkan raut wajah sedih dari orang tuaku.

Pandanganku hanya tertuju pada kolam ikan di samping rerimbunan pohon bambu. Selusin ikan mujair tampak berenang di kolam. Mereka tampak kompak dan serasi.

Lamunanku buyar ketika sebuah tangan menepuk pundakku.

“Oh ternyata kamu Bal, kirain siapa,” kataku terkejut.

Iqbal, teman kamar pondokku menghampiri diriku.

“Iya, San, tadi aku pas lewat depan ndalem disuruh sama Abah Ma’ruf buat memanggil kamu. Kata beliau ada tamu yang menunggu kamu di ndalem.”

Oh iya, nama lengkapku adalah Hasan Mambhet. Banyak teman sering memanggilku Hasan. Berkaitan dengan panggilan ke ndalem, aku pun agak terkejut. Siapa gerangan yang ingin menemuiku?

“Oh ya, Bal, terima kasih. Oke, aku langsung ke sana, ya.”

Perlu diketahui, Abah Ma’ruf adalah pengasuhku. Sehari-harinya, beliau menjadi guru ngaji-ku. Sifatnya yang ramah, membuatku sangat takzim padanya.

Tak pernah pun beliau memarahi para santri, yang ada beliau hanya memberi nasihat jika ada santri yang melanggar peraturan. Kalaupun diberi hukuman, juga tidak terlalu berat, paling disuruh membersihkan WC atau nyabuti rumput liar di halaman depan pondok.

Aku pun langsung bergegas ke ndalem. Setelah sampai, aku begitu terkejut dalam hatiku. Aku melihat kedua orang tuaku yang sedang duduk di ruang tamu ndalem. Prasangkaku hanya dua, aku akan dimarahi sama bapak ibuku dan aku disuruh boyong (pamit dan berhenti mondok).

Waktu kelas dua SMA, ibuku pernah bilang kepada diriku. Jika aku sampai gagal masuk kampus negeri maka aku disuruh di rumah. Aku akan ngarit (mencari rumput untuk ternak) dan membantu ibuku di sawah. Padahal, aku lagi senang-senangnya mencari ilmu. Ya Allah tolong dan berilah petunjuk padaku.

Aku pun masuk dan duduk di ruang tamu ndalem.

“Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam,” jawab kedua orang tuaku dan Abah Ma’ruf. Aku pun langsung mencium tangannya Abah Ma’ruf dan kedua orang tuaku.

“Le, kamu harus berterima kasih sama Abah Ma’ruf. Berkat doa beliau, kamu berhasil juara silat dan kamu juga diterima di perguruan tinggi negeri. Kemarin bapakmu ini pergi ke SMA-mu. Bapak mengambil hasil ujian dan sungguh, Bapak kecewa berat sama kamu. Kamu mendapat nilai 6, sedangkan syarat masuk perguruan tinggi negeri, minimal mendapat nilai 8,” kata bapakku dengan panjang lebar dan nada yang agak menggembirakan.

“Lho, tapi kok aku bisa diterima di kampus negeri ya, Pak?” tanyaku, setengah kaget dan gembira.

“Oh itu, kemarin, setelah kamu juara silat itu, Abah Ma’ruf telepon Bapak kalau mau masuk ke perguruan tinggi negeri itu, ternyata tidak harus dengan nilai bagus. Bisa juga dengan sertifikat kejuaraan seperti yang kamu raih itu. Ketika sudah dibuka pendaftaran mahasiswa baru di kampus negeri, Bapak pun langsung mendaftarkan kamu. Dan alhamdulilah, kamu diterima, Le.”

Aku mendengar cerita Bapak dengan setengah heran dan takjub. Aku melihat usaha Bapak yang begitu sungguh-sungguh agar anak tercintanya ini bisa diterima di kampus negeri.

“Lo, kok Bapak dan Ibu enggak bilang dari kemarin kalau aku sudah keterima di kampus negeri? Padahal, aku sudah hampir stres memikirkan ujian nasional dan sangat menyesal bila aku sampai gagal masuk kampus negeri.”

“Lho lho lho, Bapak sama Ibu memang sengaja merahasiakan kalau kamu sudah diterima di kampus negeri. Ya biar kamu sedikit mikir dan merasa tanggung jawab sedikit gitu, lho,” kata bapakku dengan nada sedikit sombong dan jumawa. Mukanya pun mencerminkan ejekan terhadapku.

“Ih, Bapak membuat kesal saja. Lihat ini, Pak, baju atasku agak basah ini. Bukan basah karena air wudu, tapi basah karena air mataku yang melimpah. Aku sampai menyesal dan takut jika membuat Bapak dan Ibu sedih karena gagal masuk kampus negeri,”

“Dasar, kamu, Le, gitu aja sampai nangis,” tawa bapak dan ibuku sedikit meledak. Aku pun juga tertawa.

“Dasar, bapak dan ibuku. Mereka pintar membuat kejutan untukku,”  gumamku.

Aku pun langsung memeluk erat bapak dan ibuku. Aku merasa bahagia.

“Terima kasih Bapak, Ibu, dan Abah Ma’ruf. Selama ini kalian telah membimbing dan mendoakanku. Aku berjanji akan menjadi orang yang sukses dan membahagiakan kalian semua,” batinku di tengah hangatnya dekapan bapak dan ibuku.

***

Slamet Makhsun (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Muntasyirul Ulum Jogja. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Makhsun atau di Instagram dengan nama: @makhsun_id.