Cerita Azzikra Rafly Ahmad (13 Tahun)
Apakah kau tidak merasa bahwa Alif sengaja menjadikanmu sebagai pelengkap dari kelima santri? Menggantikan perannya yang sudah menerbangkan keempat temannya ke empat benua?
Alif memilihmu semenjak penyakit menggerogoti tubuhnya. Alif selalu menjagamu dan tak akan membiarkanmu terluka. Ia selalu menggantikan posisimu ketika hukuman akan merajam tubuhmu.
Kau datang ke pondok di tengah-tengah masalah sedang menerjangnya. Kau datang tanpa alasan. Tak ada yang tahu siapa yang membawamu ke sini.
Kala itu, angin berembus kencang dan air hujan turun dengan derasnya. Kau datang dengan badan basah kuyup. Kami bertanya tentang tujuanmu, tetapi kau sendiri tak tahu. Lelaki tua, Kyai Kamal, menyarankan agar kau tinggal di pondok sampai kau tahu tujuan kepergianmu.
Kedatanganmu mengubah segalanya, yang mati kian hidup, yang gelap kian bersinar, yang takut kian berani. Tanpamu, doa dan usaha Alif akan sia-sia. Kau bagaikan Ridwan utusan Allah untuk menjaga surga dunia.
Pada hari kematiannya sekaligus pernikahannya yang abadi, kau tak menyadari bahwa Alif telah menjadikanmu sebagai khalifah. Kau menggantikan perannya untuk keempat sahabatnya.
***
“Siapa kamu? Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?”
“Tak perlu tahu siapa aku. Aku hanyalah jawaban dari pertanyaanmu, Alwa! Ayo, peganglah tanganku! Aku akan membawamu menuju Santri 5 Benua yang sebenarnya.”
“Aku ikut!” Seketika suasana berganti.
“Sampai kapan kau akan melindungiku? Apa gunanya kau melakukan itu padaku?”
Suatu malam, kau sengaja menghampiri Alif yang baru saja menyelesaikan 100 cambukan yang didapatnya akibat perbuatanmu. Ketika itu, matanya meleleh, mengingat kematiannya yang semakin hari semakin mendekat.
“Sampai Ridwan menghampiri dan menjaga surga duniaku. Hanya dia yang dapat merasakan faedah dari tindakanku,” lirihnya.
“Siapa dia?” kau mengais semua informasi sampai ke akarnya.
Alif hanya membalasmu dengan sebilah senyuman tajam bak pedang. Tak ada pembicaraan lagi antara kalian berdua. Dia tertidur lelap sembari meringis menahan sakit cambukan di tubuhnya.
Kau hanya menatap tubuhnya yang lemah dan penuh dengan bekas cambukan. Hatimu tergerak, ingin mengobati luka-luka di tubuhnya dengan olesan obat. Kau lakukan dengan perlahan dan tak ingin mengganggu tidurnya yang lelap. Namun, tetap saja dia menahan tanganmu, sebelum sempat kau oleskan obat.
“Biarkan luka ini membekas, ini satu-satunya yang kupunya. Luka kian menjadi saksi bahwa dia akan senantiasa bersama keempat sahabatku,” ringisnya.
Ketika itu, kau lupa bahwa jantungmu kian melemah, begitu pun kanker semakin ganas menggerogoti tubuh Alif. Semakin besar pula perjuangan Alif untukmu.
Kala itu, Alif jatuh cinta, tetapi wanita yang dicintai Alif tak menyukainya. Wanita itu malah mencintaimu.
“Shaqeena? Apakah dia yang dicintai Alif ? Tetapi aku tak mencintai Sahqeena!”
Setelah sadar dari tidur panjangmu, kau harus mencintai Shaqeena dengan tulus. Lakukanlah demi Allah yang telah menentukan takdir! Jantung Alif mencintai wanita itu. Setelah kau bangun, jantung itu menjadi milikmu. Biarlah dia merasakan cinta itu.
Sakit hati lebih menyiksa daripada keganasan kanker di tubuhnya. Dia semakin yakin, kaulah santri kelima yang sebenarnya, bukan dia.
“Mengapa Alif begitu yakin bahwa akulah santri kelima itu?”
***
Mari kita lihat, semua bukti sudah terpapar. Hari pertama kau datang ke pondok, kala itu angin bertiup sangat kencang, hujan mengguyur dengan begitu derasnya. Kau lupa semua kejadian sebelum kau sampai di pondok. Bahkan, kau tak tahu ke mana kau akan pergi. Sampai detik ini kau masih tak ingat secuil memori masa lalumu, bukan?
Di hari yang sama, Alif keluar pondok tanpa izin untuk yang kesekian kalinya. Hari itu, kau pergi untuk mencari kebenaran saudara kembarmu.
“Saudara kembar?”
Iya, kau punya saudara kembar. Namun, semua tujuanmu berubah setelah kau menyelamatkan Alif dari kecelakaan. Benturan keras di kepalamu menyebabkan amnesia.
Kau lupa segalanya, tetapi tidak untuk Alif. Justru, ini menjadi jawaban dari hidupnya. Alif menahan darah yang mengalir dari luka di kepalamu. Terlalu banyak darah yang mengalir. Dia terpaksa melakukan penyaluran darah dengan kecerdasannya sendiri tanpa bantuan dokter.
Dia melukai tubuhnya sendiri, menampung darah miliknya dan menyalurkannya kepadamu. Dia meminumkannya padamu. Tak tahu apakah darah kalian memiliki golongan yang sama. Dia hanya ingin memberi kehidupan padamu yang telah menyelamatkan nyawanya. Itulah alasan dari segalanya.
Dia memang menerbangkan empat sahabatnya ke empat benua dengan usaha dan doanya. Namun, jikalau Alif yang mengalami kecelakaan itu, bagaimana dengan kelanjutan kisah lima santri lima benua itu? Mereka tak akan sampai ke tujuan. Malah jalan di tempat. Dari sini, Alif menyimpulkan bahwa kaulah santri kelima itu. Bukan dia. Kau lebih berhak hidup untuk melanjutkan perjalananmu.
“Bagaimana aku bisa hidup dengan penyaluran darah jika golongan kami berbeda?”
Pertanyaan ini yang kutunggu-tunggu.
Hari pertama kau menginjakkan kaki ke pondok, apakah kau ingat, di mana kau sadarkan diri?
“Aku ingat, di teras asrama. Tepatnya, di depan kamar Alif.”
Apakah kau juga ingat, siapa saja yang ada di sampingmu waktu itu?
“Aku ingat, ada Kyai Kamal, Kafta, Dammerung, Sunrise, dan Alan.”
Di mana Alif kala itu? Dia tak ada di situ. Dia menahan rasa sakit akibat luka yang ia buat. Lukanya cukup dalam. Akulah yang mengobati lukanya. Luka yang membawaku untuk menemuimu yang terbaring lemah di atas ranjang ini. Kedatanganku bukan perintah dari Alif. Melainkan hubungan batin kita yang begitu kuat.
“Alwi?”
Akulah Alwi yang kau cari. Golongan darahmu dan Alif memanglah sama. Darah itu bukan darahku. Aku telah menceritakan semuanya kepada Alif. Aku tak ikut hadir kala kehadiranmu waktu itu. Aku mengobati lukanya karena aku tahu, luka itu juga untuk diriku.
Jika dia tak menyalurkan darahnya dengan segera maka kau akan lebih banyak kehilangan darah dan kita tak akan pernah bertemu. Alif, dia hanya perantara atas pertemuan kita. Allahlah yang mempertemukan kita.
“Kenapa kau bisa ada dalam ilusi pikiranku?”
Aku tak datang sendiri. Aku sedang berjuang bersamamu. Melawan kematian dan berusaha untuk tetap hidup. Kau harus tetap melanjutkan Santri 5 Benua, memulai cinta dengan Shaqeena. Aku harus menebus kerinduan terhadap Ayah dan Ibu. Kini, kita berjuang tanpa Alif. Genggamlah tanganku. Allah bersama kita.
***
Azzikra Rafly Ahmad (13 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Ar Raudhatul Hasanah. Ia merupakan siswa kelas 2 SMP dan tinggal di Jalan Beringin Pasar 5, Tembung, Gang Utama/Salak 14, Deli Serdang, Sumatra Utara. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Zikra RA.