Santri Berkhidmat Indonesia Bermartabat

Esai Rikza Anung (14 tahun)

Berbicara tentang santri atau dunia pesantren pasti yang terlintas adalah kegiatan mengaji, muroja’ah, setoran hafalan, salat malam, dan sederet kegiatan lain yang dikaitkan dengan urusan akhirat. Ini tidak salah, kenyataannya kegiatan inilah yang dijumpai ketika kita datang, mengintip, dan masuk ke pesantren mana pun yang ada di nusantara ini.

Anggapan memasukkan anak ke pesantren pun hingga saat ini juga tidak lain adalah agar anak menjadi lebih baik akhlaknya juga mendalami ilmu agama sebagai bekal di akhirat. Hal ini menambah sempitnya pemahaman bahwa santri dicetak menjadi ustaz, kiai, atau ulama saja.

Banyaknya kegiatan santri tidak lain adalah bagian terkecil dari amanah dan tujuan besar pesantren, yaitu mendidik dan membentuk santri untuk disiplin dan bermanfaat. Bermanfaat tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi juga untuk semua orang. Khoiru an-naas anfa’uhum li an-naas menjadi landasan bahwa santri harus memiliki semangat menebar manfaat sekecil apa pun itu dan bagi siapa pun.

Santri dididik untuk disiplin dalam mengatur kebutuhan dan keperluannya secara mandiri. Mereka dididik bertanggung jawab atas waktunya yang digunakan, perilaku, dan perbuatannya. Mereka diajarkan antikekerasan, sikap toleransi, saling bersimpati, dan tetap rukun meski 24 jam bersama dengan kemungkinan munculnya perselisihan.

Selain itu, di pesantren santri juga mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan sikap nasionalisme dengan menunjukkan rasa bangga, cinta, dan ikut memiliki tanah air (hubbul wathon). Kiai sebagai orang tua dan guru akan mengarahkan dan mengajak santrinya untuk mencintai, menghargai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Mencintai tanah air adalah satu hal yang harus dimiliki setiap warga bernegara. Sebagai warga negara Indonesia, santri punya tanggung jawab besar untuk menjaga tanah airnya.

Di pesantren, semangat nasionalisme ditunjukkan dengan praktik langsung. Santri datang dari berbagai daerah dengan karakter dan kebiasaan yang berbeda, dengan latar belakang sosial yang bermacam-macam. Mereka berkumpul dalam satu lingkungan baru, yaitu pesantren. Hal ini merupakan wujud nyata bagian dari cinta tanah air. Saling menghargai, saling mengenal budaya, bahasa, dan karakter daerah adalah bukti santri cinta negeri, yaitu menjaga Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Semangat nasionalisme santri yang sederhana ini, tetapi susah untuk dipraktikkan di luar, selain karena amanat dari pengamalan sila-sila Pancasila juga karena ajaran para anbia sebagai panutan. Kisah Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan pentingnya bangga dan cinta tanah air. Doa-doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim a.s. dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 126 sebagai bukti kebanggaan dan perhatian yang sangat besar terhadap tempat tinggalnya.

Ketika berada di Makkah, Nabi Ibrahim a.s. berdoa agar negerinya aman dan penduduknya sejahtera. Nabi Ibrahim a.s. juga berdoa supaya Allah Swt. mengutus seseorang yang dapat membimbing penduduk Makkah nantinya. Nah, doa yang dipanjatkan ini merupakan bukti nyata semangat nasionalisme Nabi Ibrahim a.s. terhadap tanah airnya.

Semangat nasionalisme juga ditunjukkan oleh alim ulama kita untuk negeri ini. K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang adalah salah satu dari sekian ulama yang memberikan inspirasi dan mampu membangkitkan semangat rakyat melawan penjajah dengan syair hubbul wathon.

Ada pula K.H. Zainal Mustafa dari Tasikmalaya yang menjadikan hubbul wathon sebagai prinsip bagi para santrinya untuk melawan penjajah. Banyak kiai lainnya turut memekikkan hubbul wathon minal iman sebagai pengobar semangat para santrinya.

Sampai kapan pun, hubbul wathon minal iman akan terus menjadi inspirasi bagi santri. Sejarah masa perjuangan kemerdekaan membuktikan bahwa mereka tidak hanya fokus pada kajian kitab kuning, hafalan Al-Qur’an, dan hadis saja. Mereka juga menumbuhkan sikap patriotisme dan menjunjung tinggi nilai-nilai bangsa.

Santri mengisi kemerdekaan dengan berbagai hal positif demi pembangunan bangsa. Mereka saling menyayangi sesama dan mencintai keberagaman. Mereka menjaga perdamaian dengan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Selain itu, mereka menjalankan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa), dan juga ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim).

Jadi, memang sebuah kebanggaan dan kenikmatan menjadi seorang santri. Urusan dunia bahkan urusan akhirat pun bisa diperoleh secara bersamaan dan seimbang. Santri Sehat, Santri Hebat, Santri Berkhidmat, Indonesia Bermartabat.

Selamat Hari Santri Nasional 2020, dari santri Ponpes Mahasina DaQwaH

***

Rikza Anung (14 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits. Penulis tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat.