Esai Aulia Akbar
Wabah Covid-19 telah memberi dampak negatif bagi bumi dan seisinya. Namun, di dalamnya juga mengandung nilai positif bagi kita, terutama para santri. Dalam benak santri, timbul keingintahuan tentang seluk-beluk upaya pemerintah dalam menanggapi musibah ini.
Sesuai dengan Firman Allah di dalam Q.S. Al Imran ayat 90:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلً
Artinya: wahai Pemelihara kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia.
Kita semua tau, pemerintah telah melakukan upaya sekuat tenaga dalam mengatasi masalah Covid-19 ini. Dimulai dari perintah mengisolasi diri di rumah, physical distancing, gerakan masyarakat sehat dengan mencuci tangan setiap saat, memakai hand sanitizer, bahkan menunda acara yang mengumpulkan orang banyak.
Salah satu kegiatan imbauan berkumpul juga berlaku untuk beribadah. Ditiadakannya salat Jumat mengandung kontroversi bagi kalangan masyarakat, terutama muslim.
Saya sebagai santri, mencoba untuk melihat pandangan Islam mengenai upaya pemerintah dalam menanggulangi wabah tersebut.
Pertama, perintah untuk mematuhi kebijakan pemerintah terkait penanggulangan virus Covid-19 di tengah perbedaan pandangan. Kita bisa menengok kaidah ushul fikih yang berbunyi:
حكم الحاكم إلزام و يرفع الخلاف
Artinya: hukum kebijakan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan pandangan.
Kedua, perintah untuk berdiam diri di rumah. Kita lebih mengenal di media sosial dengan tagar #dirumahaja dan lockdown. Mengenai perintah untuk di rumah sudah diatur dalam hadis:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَ
Artinya: jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada maka jangan tinggalkan tempat itu. (HR Bukhari)
Ketiga, menolak jabat tangan karena khawatir tertular dan menulari. Dasar alasannya ialah memakai kaidah:
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya: kemudaratan harus dihilangkan.
Dan sesuai hadis Nabi saw.:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
Artinya: tidak berbahaya dan tidak boleh membuat (mendatangkan) bahaya. (HR Ibnu Majah no. 2340)
Keempat, gerakan masyarakat sehat dengan menggunakan hand sanitizer yang mengandung alkohol. Kita mengetahui bahwa alkohol dilarang dalam agama. Namun, dalam hal ini memakai kaidah:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Sesuai dengan firman Allah Swt.:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya: maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. (QS.Al-Baqarah: 173)
Kelima, pemerintah melarang menyebarkan berita hoaks. Berita hoaks berdampak menambah beban psikologis dan menyebabkan keadaan semakin meresahkan. Larangan tersebut memakai kaidah:
اَلضَّرَرُ يُدْفَعُ عَلَى قَدرِ الْإِمْكَانِ
Artinya: kemudaratan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang.
Menebar berita hoaks memang tidak sepenuhnya membuat virus ini kelar begitu saja. Namun, berhenti menyebar berita hoaks adalah suatu bentuk usaha dalam menghilangkan kemudaratan sesuai kemampuan kita.
Dan sesuai sabda Nabi saw.:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُـــــهُ مَــــــا لاَ يَعْنِيـــــهِ
Artinya: di antara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan hal-hal yang kurang bermakna baginya. (HR Tirmidzi)
Keenam, kebolehan meninggalkan salat jemaah di wilayah yang telah terjangkiti, memakai kaidah:
دَرْءُ الْمفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: menolak kemudaratan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Jemaah di masjid itu sangat bermaslahat bagi kita semua, tetapi jika jemaah di masjid atau musala dilakukan saat pandemi seperti ini dapat menimbulkan mudarat. Alih-alih mendapatkan pahala 27 derajat, malah dapat menularkan virus atau malah terkena virus. Maka, tidak jemaah di masjid lebih baik karena menolak kemudaratan.
Seiring diberlakukannya ketetapan pemerintah di atas, ada juga pandangan kelompok aliran teologi dalam Islam menyikapi wabah bala penyakit. Setidaknya ada tiga paham kelompok, yaitu:
1) Paham Jabariyyah
Menyerahkan sepenuhnya pada takdir Allah tanpa dibarengi usaha dan ikhtiar.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa semua wabah penyakit semata berasal dari Allah Swt. Mereka tidak mau peduli dengan usaha syariat untuk menghindarinya.
Mereka berpandangan sekiranya mereka terkena wabah penyakit tersebut merupakan takdir dari Allah. Jika nanti mereka meninggal dunia, itu pun juga sudah takdir dari Allah. Sekiranya mereka selamat–tidak terkena apa-apa–itu pun juga sudah takdir dari Allah Swt.
Mereka tak peduli menggunakan masker. Mereka hanya peduli keyakinan mereka semata. Imbauan medis tidak ada dalam kamus mereka, kecuali jika memang sudah parah kondisinya, itu pun jika sudah terpaksa.
Kelompok ini hanya peduli pada keyakinan mereka sendiri. Mereka tidak mempedulikan efek serta dampak yang ditimbulkan dari kelompok mereka sendiri kepada orang sekitarnya.
Kelompok paham Jabariyyah ini hanya peduli pada pemberi asbab, bukan pada musabbab. Yakin hanya pada Allah, tetapi tidak yakin pada sunatullah-Nya.
Contoh slogannya, misalnya, “Kami hanya takut kepada Allah, tidak takut corona! Corona itu juga makhluk Allah!”
(Tanpa mengindahkan arahan dan imbauan dunia medis).
2) Paham Qadariyah
Sepenuhnya yakin pada kekuatan diri sendiri, tanpa melibatkan peran Allah Swt. sama sekali.
Kelompok ini mengandalkan kemampuan yang diciptakan oleh manusia. Mereka percaya kepada dirinya sendiri atau orang lain yang dianggapnya kuat kemampuannya. Seorang pemimpin atau para kepala negara yang mereka yakini kemampuannya.
Kelompok paham ini lebih mengandalkan logika dan akal daripada keyakinan hati dan iman. Biasanya, mereka berkeyakinan penuh pada teknologi, kecanggihan peralatan medis, serta kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka menafikan keberadaan dan peran Allah Swt. dalam setiap peristiwa dan kejadian.
Intinya, paham Qadariyyah ini hanya melihat dan meyakini faktor musabbab, tetapi mengabaikan Sang Pemberi asbab. Kadang paham kelompok Qadariyyah juga menafikan antara hubungan faktor musibah dengan kemungkaran manusia itu sendiri.
Semisal slogannya, “Tidak ada hubungan antara wabah penyakit dengan kemaksiatan manusia,” atau “tidak ada hubungan antara corona dengan mengonsumsi kelelawar atau binatang yang diharamkan dalam Islam.”
3) Paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Menyeimbangkan antara ikhtiar dan tawakal.
Kelompok Ahlu Sunnah wal Jama’ah memiliki sikap dan pandangan mu’tadil dan mutawasith: seimbang dan berimbang. Mereka tidak terlalu takut berlebihan dan tidak pula menantang penuh kesombongan. Mereka menyeimbangkan antara ikhtiar dan tawakal.
Mereka selalu berusaha bertawakal mendekatkan diri pada Allah Swt. dengan doa dan wiridan, tetapi pada saat yang sama juga mereka selalu berikhtiar dengan obat-obatan dan menjaga kesehatan. Mereka senantiasa menjaga kebersihan fisik dan juga kebersihan batin. Mereka berdoa dan memakai masker bila diperlukan.
Kelompok ini mengikuti aturan medis juga mematuhi dan tunduk pada aturan agama dan ilmu pengetahuan. Keseimbangan antara nalar dan iman, kesetaraan antara hati dan logika akal.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa Allah yang menjadi musabbab, tetapi juga Dia yang menciptakan asbab. Dia yang menurunkan bala wabah penyakit, tetapi Dia pula yang memberikan cara menghindari dan penyembuhan wabah penyakit tersebut.
Kesimpulannya, saya menganggap cara pemerintah menanggulangi wabah Covid-19 sudah sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Lebih baik, kita sebagai rakyat haruslah menuruti anjuran yang sudah ditetapkan pemerintah.
Semoga kita selalu diberi kesehatan, kesabaran, dan keridaan menghadapi musibah ini. Cobaan dari Allah entah berupa bala maupun kesullitan, tetap lebih baik dari apa yang datang dari kita sendiri meskipun berupa ilmu, ibadah, dan ketaatan kepada Allah Swt.
***
Aulia Akbar ( 19 tahun) merupakan santri PP Al Munawwir Kompleks Nurussalam, Krapyak, Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @akbraulia21.