Santriwati Jadi Mahasisiwi Kedokteran? Memang Bisa?

Esai Cut Shafia Hasan

Bagaimana jika seorang santriwati di sebuah pesantren nekat menjadi mahasiswi kedokteran yang sibuk nya bukan main? Memang bisa? Nanti hafalan nya bagaimana?

Pertanyaan ini menjadi awal yang menarik, dan mari kita bahas bersama.

Siapa yang tidak mau mewujudkan mimpinya? Masuk kedokteran contohnya, pekerjaan mulia dan sangat diperlukan. Bahkan, bisa mempengauhi cara pandang orang lain terhadap diri kita.

Eits, namun jangan salah. Itu semua perlu dibayar dengan keseriusan dan kerja keras. Kita harus belajar terus dan tentunya pandai mengatur waktu.

Menjadi seorang santri sebenarnya memiliki point plus lho. Kita yang sudah terbiasa mengatur waktu di pondok, tidak akan terlalu kaget ketika  di hadapkan dengan jadwal belajar sebagai seorang mahasiswa kedokteran. Meskipun belajarnya sibuk bukan main, namun “biasalah” kalau kata santri.

Menjadi mahasiswa kedokteran itu harus kuat solidaritasnya, karena kita semua akan menjadi teman sejawat, saling diskusi, hingga saling menolong. Kita akan terus bersama-sama hingga selesai.

Coba kita lihat di pesantren, hal itu sudah di terapkan, bukan? Belajar bersama, menolong teman, solidaritasnya juga terbangun dengan tinggal 24 bersama-sama.

Namun, dilematisnya adalah bagaimana dengan kebiasaan menghafal Quran-nya? Murojaah-nya? Apa harus ditinggal demi mendapatkan predikat sebagai calon dokter?

Heii fellas, we can do both!
Kata siapa rajin belajar untuk mengejar hal dunia akan menghambat kita untuk tetap menjalankan aktifitas sebagai santri? Bahkan, jika kita sudah terbiasa menghafal al-quran, hadist, Insyaallah nanti kalau dapat pelajaran yang harus menghafal anatomi-nya manusia, fisiologi-nya, hingga patogenesis-nya.

Bahkan, kalian tahu tidak Bapak Kedokteran Modern itu siapa? Ibnu Sina atau yang biasa dipanggil Avicenna di Barat. Dia adalah seorang muslim.  Kecerdasannya luar biasa sekali dan banyak ilmu-ilmu baru di bidang kedokteran di temukan oleh beliau.

Jadi untuk kalian yang masih takut menggapai mimpimu sebagai dokter?

Coba kita lihat saudara-saudara kita di Indonesia, atau bahkan di Palestina, mereka butuh bantuan para calon-calon dokter seperti kita. Sudah lulus jadi dokter, lalu hafalan qur’annya juga mantap, ditambah rela membantu orang-orang kesusahan.

Ladang pahala sekali, bukan? Apalagi kalau pasiennya sembuh atas izin Allah. Tentu kita akan merasakan kebahagiaannya bukan main.

Wallahualam.,

***

Cut Shafia Hasan (18 tahun) pernah mondok di Pondok Pesantren Zamzam Syifa Boarding School. Sekarang, ia tercatat menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Maranatha Christian University di Bandung. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @shafiaaae