Seharusnya Rahasia Ini Diungkap 20 Tahun Lagi

Cerita Alfin Haidar Ali



Tepat dua tahun lalu, aku memiliki kenangan dengan Kiai M. Hefni Mahfudz. Beliau merupakan pemangku wilayah Zaid bin Tsabit (K) sekaligus Koordinator Pusat Pendidikan Ilmu al-Quran (PPIQ) Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Dulu, sewaktu masih duduk di kelas sebelas madrasah aliah, terdapat tradisi setoran kitab ke kiai atau ustaz senior di Nurul Jadid. Satu kelas akan dibagi dalam beberapa kelompok. Pemilihan jadwal waktu, kitab, dan kiainya ditentukan oleh pengurus.  Santri akan ditemani oleh pengurus ketika pertemuan pertama dan terakhir sebagai “kata pengantar” dan “prolog” dalam setoran.

Setiap kelompok memiliki cerita dan keseruan masing-masing. Hal itu menjadi obrolan menarik di kalangan kami saat mengisi waktu luang atau jam kosong pelajaran di sekolah. Sebenarnya, tidak semua kelompok pasti setoran ke kiai. Misalnya, kelompoknya Rizal  setoran ke Ust. Zainuddin Sunarto (Pak Ije). Meski bukan kiai, tetapi untuk keilmuan keagamaan tak perlu diragukan lagi.

Setiap Kamis sore, kelompokku menggunakan kitab Bidayatul Hidayah karya hujjatul Islam Imam al-Ghazali untuk setoran. Karena pertemuannya seminggu sekali dan berbagai uzur yang lain, setoran kitab tersebut tidak sampai khatam. Pada pertemuan pertama saja, Kiai Hefni menerangkan bacaan basmalah panjang lebar. Aku tidak tahu berapa mutiara ilmu lagi yang beliau curahkan ketika menerangkan kalam demi kalam al-Ghazali berikutnya.

***

Pada tahun 2018, semua lembaga di Nurul Jadid wajib pulang bakda asar. Semua siswa wajib salat Asar berjemaah setelah itu boleh pulang ke asrama mereka masing-masing. Semenjak ada setoran kitab, setiap hari Kamis ada tujuh anak dari kelas kami dipastikan pulang sebelum salat Asar.

Setiap ditanya bagian keamanan sekolah, alasan kami cukup kuat dan menggetarkan, “Setoran ke Kiai Hefni, Pak.” Seolah-olah, alasan kami mengatakan lebih dari itu. “Ini urusannya dengan kiai, Pak. Ayolah, jangan dipersulit.”

Setelah melewati prosedur izin yang telah disepakati, kami menuju asrama. Kami bergegas menuju musala Gang K untuk salat Asar di sana. Saat perjalanan itulah, kami dituntut untuk fokus dengan dua hal. Kami harus melangkah lebih cepat karena khawatir ketinggalan salat berjemaah. Di sisi lain, kami menyiapkan hafalan lima sampai sepuluh bait alfiyah. Dengan beliau, kami juga harus setoran nadzam alfiyah.

Bakda salat Asar berjemaah, Kiai Hefni tidak turun dari pengimaman. Kami menuju ke sana untuk setoran kitab. Ketika itu, aku duduk di bagian utara. Aku mendengarkan penjelasan beliau dengan bengong dan setengah sadar. Begitulah, kebiasaan buruk yang tak perlu ditiru. Aku tidak tahu sedang memikirkan apa. Rasa-rasanya tidak fokus.

Diriku yang sedang bengong menarik perhatian Kiai Hefni. Setoran langsung dilanjut “tawajjuhan” dan aku sadar merasa malu telah mengerjakan kesalahan.

“Kenapa kamu, Nak?” sapa beliau menyadarkan kebengonganku. Aku sadar, tetapi pikiranku belum juga fokus. 

“Belum dikirim ta?” tanya beliau lembut. Aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan.

Kemudian beliau merobek kertas yang ada di meja kecil tempat beliau menjadi imam. Kertasnya relatif kecil dan dilipat pula sehingga cukup padat.

“Jangan dikasih tahu siapa-siapa kecuali sudah sampai dua puluh tahun,” beliau berkata sambil memberikan kertas tersebut.

***

Aku menuruti titah beliau dengan mengangguk pasrah. Teman-teman saat itu memperhatikan betul. Sebagai santri, semuanya sangat takzim dan patuh pada kiai, mungkin hanya aku yang cangkolang dari yang lain. 

Setelah memberikan kertas tersebut, beliau dawuh di hadapan kami, “Kalau ingin lancar rezekinya, baca يا الله يا فتاح يا رزاق  sebanyak 11 kali setiap salat lima waktu. Insyaallah akan dilancarkan rezekinya.” 

Setelah itu, beliau menceritakan pengalamannya mengamalkan amalan ini. Beliau pernah tidak mempunyai uang sama sekali. Ketika membutuhkan uang, ternyata terdapat uang di kantong bajunya dan jumlahnya tidak sedikit.

Tak lama setelah itu, pengajian usai. Kami berdoa bersama. Tak ada komentar apa pun setelah kejadian itu. Sesampai di pintu keluar Gang K menuju ke asrama, seharusnya, kami berjalan menuju ke arah utara.

Satu lagi, itulah keseruan setoran di Gang K. Kaki kami secara otomatis berbelok  ke arah selatan menuju warung yang sangat populer di kalangan santri putra. Cukup dengan uang Rp7000, dijamin Anda kenyang banget. Apalagi makannya bareng-bareng, bila kurang bisa nambah.

Di warung tersebut, obrolan kami membahas kejadian tadi saat setoran. Wafi berkata, “Tadeklah mun 20 tahun. Tak kerah nyak tanyakan,” ungkapnya dengan bahasa Madura-nya yang kental.

“Wouw. Kiai Hefni ini menunjukkan karomah-nya,” ucap temanku yang lain juga dugaan-dugaan dari teman-teman lainnya. Obrolan senja itu kami tutup dengan makan tabhek di warung itu.

***

Jika mengingat kejadian ini, saat itu tingkah lakuku terlihat lugu sekali. Sampai-sampai salah satu temanku berkomentar, “Terlalu jujur kamu di hadapan kiai.”

Bila peristiwa itu terjadi pada tahun 2018, berarti tahun ini masih berjalan dua tahun. Butuh 18 tahun lagi izin menceritakan isi kertas kecil tersebut. Berarti, pada 3 Mei 2038 nanti saya boleh bercerita peristiwa ini. Mungkin, bila saya sudah beristri dan mempunyai dua anak.

Tulisan ini hanya mengigat kejadian dua tahun lalu, 3 Mei. Sehari setelah hari pendidikan.

***

Alfin Haidar Ali (19 tahun) suka corat-coret di (IG) @sastrapesawatkertas & tukang nata sandal di @mahadalynuruljadid Penulis dapat ditemui lewat Facebook: haidar ali atau Instagram @alfinhaidarali179