Esai Ahmad Fatir Ahdar
Umat Islam di seluruh dunia sedang merasakan euforia begitu luar biasa. Mereka menyambut datangnya bulan yang mulia ini, walaupun berjalan di kala pandemi corona. Bukan menjadi masalah untuk tetap menjalankan serangkaian ibadah di bulan Ramadan.
Sebagaimana doa yang sering dilantunkan, baik setelah salat maupun dalam puji-pujian sesaat setelah azan berkumandang:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami ke bulan Ramadan.
Hal ini membuktikan bahwa adanya perasaan rindu dan harapan untuk beribadah di bulan Ramadan. Bulan yang menjanjikan berlipat-lipat pahala. Dalam ceramahnya, mubalig sering kali menyampaikan tentang pahala yang dilipatgandakan hingga sampai seribu kali lipat.
Satu hal yang tak kalah penting bahwa bulan Ramadan menjadi momen yang baik untuk memperbaiki hati. Puasa dapat melunakkan dan membersihkan hati yang kotor. Hati yang bersih akan melahirkan perbuatan yang baik, sebaliknya hati yang kotor akan melahirkan perbuatan yang buruk.
Sebagaimana yang telah disampaikan Rasulullah saw., “Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah kalbu.”
Rasulullah telah memberi rumusan yang singkat, padat, berisi, dan berlaku sepanjang zaman. Singkatnya, siapa pemilik hati yang baik dan bersih akan mewujudkan perbuatan yang baik. Begitu pun sebaliknya, hati kotor akan mewujudkan perbuatan buruk. Maka, perbuatan menjadi cerminan hati.
Sebagai manusia awam, tentu kita tidak luput dari dosa. Dosa akan sedikit demi sedikit mengotori dan menutup hati kita sehingga menjadikannya kotor dan penuh penyakit. Hal ini perlu disadari oleh setiap manusia.
Sebenarnya, kita dapat mengetahui keadaan hati kita. Di dalam kitab Qutul Qulub karya Syekh Muhammad bin ‘Ali bin Athiyah Abu Thalib al-Makki al-Haritsi al-Maliki, diterangkan bahwa salah satu ciri orang yang mengidap penyakit hati adalah ia tidak dapat merasakan nikmatnya beribadah. Merasa tidak nyaman, nikmat, khusyuk, dan tidak betah berlama-lama untuk melakukan ibadah.
Pada dasarnya, ibadah merupakan makanan yang sangat lezat bagi hati. Ibadah sebenarnya nikmat, tentu bagi mereka yang sehat hatinya, sedangkan bagi mereka yang sedang sakit hatinya, ibadah apa pun tetap saja tidak akan terasa nikmat. Ada dua ciri keadaan seseorang mengidap penyakit hati.
Pertama, seorang pengidap penyakit hati adalah tidak dapat merasakan nikmatnya ibadah. Ciri pertama ini menyangkut hubungan kita dengan Tuhan.
Kedua, pengidap penyakit hati akan merasakan sering iri hati, gibah, hingga su’udzon (berburuk sangka). Ia tidak akan merasa nyaman, ada saja hal-hal buruk yang terlintas di hatinya yang kotor. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit hatinya terus meronta-ronta ketika melihat keadaan sekitar.
Dengan mudah, mereka yang mengidap penyakit hati akan mudah menilai orang lain dengan keburukan. Mulutnya selaras dengan hatinya sering kali berkomentar, terus mencibir bak netizen anyaran.
“Padahal dia itu lulusan pondok, kok gitu ya ….”
“Padahal sudah haji, kelakuan masih gitu aja,” juga sekumpulan kata-kata cibiran lainnya. Ciri yang kedua ini mengangkut hubungan kita dengan sesama manusia.
Dari kedua hal di atas, penting sekali bagi kita untuk merawat hati karena dari hati. Merawat hati dapat memengaruhi kualitas hubungan kita kepada Allah juga kepada sesama manusia. Orang yang mempunyai hati bersih tentu hubungannya dengan Allah akan baik. Tak ketinggalan, hubungannya dengan sesama manusia pun menjadi harmonis. Ia tak hanya dicintai oleh Allah, tetapi juga sesama manusia bahkan makhluk-makhluk Allah yang lain.
Wallahu A’lam.
***
Ahmad Fatir Ahdar (20 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al-fithrah, Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul. Ia juga mahasiswa IIQ AN-NUR Jogja. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: fatir_ahdar atau Facebook dengan nama: Ahmad Fatir Ahdar.