Cerita Hebba Mohammad Alhan
Hari Raya Idulfitri kali ini, aku merayakan di rumah Nenek. Biasanya, saat Hari Raya Idulfitri, umat Islam melaksanakan salat Id bersama-sama di masjid. Namun, karena ada wabah yang melanda penjuru dunia ini, aku melaksanakan salat Id di rumah Nenek. Aku salat berjemaah bersama Bapak, Ibu, Kakak, dan Nenek.
Aku dan keluarga sangat waspada terhadap wabah Covid-19 ini, sehingga tidak ujung (silaturahmi ke rumah-rumah tetangga). Di rumahnya, Nenek juga tidak menerima tamu di rumah. Bapak khawatir, diusia menjelang 1 abad, Nenek sangat rentan dari terpapar virus. Sekali lagi, keluargaku sangat waspada terhadap wabah Corona ini.
Setelah salat Id, di dalam rumah Nenek, kami makan bersama dengan sangat meriah. Setiap anggota keluarga mendapati tugas masing-masing. Ada yang menghangatkan opor ayam, menyiapkan piring, dan membawa ketupat ke ruang makan. Ketupat memang sering dijumpai dan menjadi makanan khas ketika Hari Raya Idulfitri ini.
Sebelum acara makan-makan dimulai, Bapak memintaku memimpin doa sebelum makan. Selesai memimpin doa, aku langsung mengambil opor ayam dan ketupat yang telah tersedia di meja makan. Aku makan paling banyak di antara anggota keluarga yang lain. Saat itu aku memang merasakan kelaparan yang sangat dahsyat.
“Habisin saja ketupatnya kalau Hebba belum kenyang,” kata bapakku sambil tertawa. Aku lihat senyum mengembang di bibir Nenek yang pucat.
Aku pun jadi tersipu malu ketika nenekku tersenyum. Namun, aku merasa bahagia karena ini senyum Nenek pertama di hari raya.
Maklum, Nenek merasa sedih sebab anak-anaknya yang di Jakarta dan Surabaya tidak bisa mudik. Mereka mematuhi aturan pemerintah untuk tidak mudik di hari raya tahun ini.
Acara makan bersama selesai. Acara kami lanjutkan dengan maaf-maafan atau dalam istilah Jawa disebut sungkeman. Aku sungkem kepada Nenek, Bapak, Ibu, dan Kakak.
Nenek terlihat sangat bahagia. Senyum Nenek terus mengembang di antara lafal doa setiap menerima sungkem.
“Sini,” kata nenek sambil melambaikan tangan ke arahku dan kakakku. Nenek memberiku dan kakak uang. Anak-anak di kampungku sering menyebutnya THR.
Aku merasa gembira. Aku mengucapkan terima kasih kepada Nenek sambil tersenyum. Sekali lagi, Nenek juga tersenyum bahagia.
***
Proses lebaran di pagi itu selesai. Aku dan kakakku membantu Bapak dan Ibu membereskan sisa makanan di meja makan. Kami membawa kembali ke dapur dan mencuci piring-piring serta alat makan lainnya.
Semua pekerjaan dapur itu selesai ketika jarum jam di dinding menunjukkan pukul 12.30 WIB. Selanjutnya, sekeluarga salat Zuhur berjemaah. Aku menjadi imam salat Zuhur dan jemaahnya ialah Nenek, Bapak, Ibu, dan Kakak. Sekali lagi, setelah salat kami bersalam-salaman dan saling mendoakan.
Walaupun hari raya kali ini tidak bisa silaturahmi ke rumah tetangga, aku sangat bahagia karena melihat nenekku tersenyum bahagia. Memang, Nenek tidak bisa bertemu dengan Om, Tante, dan adik-adik sepupuku yang lain. Namun, kedukaan yang menyelimuti wajah tuanya seakan sirna disapu hangatnya keluarga. Masih ada keluargaku di hari raya kali ini.
***
Hebba Mohammad Alhan, santri kelas 7 SMP Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Penulis berasal dari Secang, Sandon, Madyocondro, Magelang. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: lol_plukz.