Sepucuk Kertas Balasan untuk Atiyah

Cerita Fahad Ihsan Firdaus Sidik

Teriakan dan sahutan para santri putra bergemuruh ketika seorang santri putri tampil di panggung seni. Suara riuh menggema, tak kalah dengan ramainya pasar atau mal. Tangan-tangan dengan rapi melambai-lambai, mengiringi nasyid khas santri yang sedang dinyanyikan. Dengan suaranya yang melengking penuh vibra, Atiyah tampil full power. Ia kerahkan bakatnya untuk memenangkan kontes seni antarangkatan.

“Aku ingin mencintaimu, setulusnya.
Sebenar-benar aku cinta.
Dalam doa dalam ingatan. Dalam setiap langkahku.

Lirik demi lirik lagu ia nyanyikan penuh penghayatan bagai penyanyi diva nasional tersohor. Hanya saja, busana dan lagu yang dibawakan olehnya lebih sopan. Penguasaan panggungnya sangat menarik perhatian juri.

***

Santri putra bersiul-siul penuh kagum dan ikut bernyanyi. Tepuk tangan ramai mengakhirinya.

“Itulah tadi penampilan pamungkas dari angkatan 38. Mana tepuk tangannya? Akhirnya satu demi satu peserta sudah tampil. Tinggal kita tunggu keputusan dewan juri.”

Raihan kembali ambil posisi sebagai MC pada acara malam hari itu. Ia menerima kertas nilai akhir dari salah seorang rekannya. Selang beberapa menit, Raihan mengumumkan kejuaraan.

“Mana pendukungnya angkatan 37? … 38? … 39? … Kita akan umumkan siapakah yang berhak tampil dalam acara reuni akbar pondok pesanten. Langsung saja. Pemenangnya adalah …”

Aula hening. Panitia memutarkan lighting panggung.

“Atiyah dari angkatan … 17.”

Suasana menggelegar kembali, menjemput kemenangan Atiyah. Dengan gaun khas santri, ia berjalan sangat anggun menuju panggung. Atiyah mengenakan kerudung paris berwarna hitam. Ketika kerudungnya terkibas-kibas ditiup kipas angin, menambah keelokannya di malam itu. Layaknya syuting film wanita hijab ataupun audisi model muslimah.

Seluruh santri putra melirik Atiyah hingga batas papan antara santri putra dan santri putri. Namun, tidak dengan Raihan, ia tetap tak acuh. Ia menolehkan pandangan menyusuri sudut ruangan walaupun ia berdiri di depan panggung. Sarungnya diangkat sedikit ketika menaiki anak tangga panggung. Penonton tetap dalam riuhnya dan Raihan tetap menjaga pandangannya.

“Kami persilakan kepada dewan juri untuk memberikan hadiahnya.”

Raihan membawa piala di atas nampan. Ia menyodorkan nampan tersebut  kepada Ustaz Rahman penuh takzim untuk beliau berikan kepada pemenang. Walaupun dekat dengan jarak satu langkah, Raihan tetap menjaga pandangannya.

Hafalan 10 juz Al-Qur’an yang ia miliki tak ingin luntur hanya dengan hal sepele. Ia menganggap bahwa tak sesuai dengan syariat Islam juga. Ia rela untuk tak sama dengan remaja kebanyakan di luar sana. Mereka menganggap wajar (lumrah) bahkan lebih dari sekadar pandangan.

Di usia menginjak sweet seventeen, ia tetap teguh dengan jiwa santrinya. Kekagumannya terhadap suara emas Atiyah tak lantas mengalahkan imannya. Ia tidak melirik wajah Atiyah sedikit pun.

***

Gaya MC-nya yang khas ternyata membuat Atiyah kagum. Cowok berkacamata yang penuh percaya diri itu melekat di pelupuk matanya. Cowok yang aktif seperti Raihan itulah tipe idaman Atiyah. Tak jarang ia tertawa dengan humor yang dibawakan Raihan saat menjadi MC.

Kekaguman kepada Raihan, yang tak tertahankan, membuat Atiyah tak kuasa menahan perasaan.  Akhirnya, ia menoleh sekelebat tatkala piala hendak diberikan Ustaz Rahmat kepadanya. Tak ada lirikan dari Raihan, Atiyah hanya menemukan senyumnya. Bayangan tentang senyum Raihan terus terngiang dalam pikiran Atiyah sampai ia turun dari panggung.

Ratusan pasang mata santri putra membuntuti sampai tak terlihat kerudung parisnya. Di balik pembatas, Atiyah tenggelam dan menghilang. Ia kembali duduk dengan santri putri lainnya. 

Nama Atiyah memang sudah terkenal dengan suaranya di seantero Madrasah Aliyah Al-Falah. Di asrama putra, namanya bagaikan sebuah berita selebritas terkenal yang ditunggu-tunggu kabar terbarunya. Tak heran, banyak santri memperebutkannya.

Raihan menutup acara pada kegiatan pentas seni islami antarangkatan se-pondok Al-Falah. Para santri sambil bersiap-siap mengangkat badannya dari kursi lipat dan satu per satu meninggalkan aula.

***

Langit sore masih menyimpan sedikit teriknya mentari. Suasana kembali khidmat ketika para santri berbondong-bondong dengan kitab kuning disandangnya. Di ruang kelas nomor empat, Raihan mengaji beserta teman-teman lainnya kelas dua madrasah aliah, termasuk Atiyah.

Sebelum pelajaran dimulai, Raihan sudah berada di kelas dengan Al-Qur’an kecil di tangannya, memurajaah hafalannya. Ketika pelajaran hendak dimulai, sebagian santri putra berdesakan ingin meraih kursi dekat dengan papan pembatas. Mereka berebut mencari tempat strategis untuk tidak ketahuan ustaz ketika berbuat gaduh.

Bukan tanpa alasan, para santri putra memilih duduk di samping papan. Mereka semangat berangat ke kelas karena sepucuk kertas. Di sela-sela belajar, mereka menggoreskan tinta penuh makna dalam sepucuk kertas. Nama Atiyah sudah biasa tertulis di alamat surat. Dan kata sedemikian basa-basinya tetap saja mengerucut kepada satu arah: c i n t a.

Ketika ustaz datang, suasana sekejap menjadi tenang. Beliau memulai untuk menyemai untaian mutiara hikmah yang diambil dari kitab kuning. Para santri mengikat ilmunya lewat tulisan di buku masing-masing. 

Ada santri putra yang duduk di pojok samping papan terus memantau ustaz. Ia memastikan bahwa ustaz tidak melihat mereka ketika melempar sepucuk kertas lewat kolong papan pembatas.

Sementara Raihan tetap hanyut dalam untaian mutiara Ustaz Rahman. Raihan menahan air mata dan menyisakan mata yang berkaca-kaca. Kala itu, kelas diisi pengajian mengenai Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 23. Ayat tersebut  menjelaskan larangan melakukan perbuatan yang mendekati zina.

Kata beliau, hal ini sangat lumrah kita lihat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Para remaja muslim dengan tanpa perasaan berdosa secara terang-terangan berani melakukan maksiat. Pacaran pun termasuk perbuatan yang mendekati zina dan pintunya melalui pandangan. Berbeda dengan yang sudah siap menikah, itu pun harus lewat perantara dan saksi. Sungguh mulia Islam menjaga kehormatan manusia.

Ustaz Rahman berceramah panjang lebar. Raihan dibawa hanyut dalam hikmahnya sampai tak terasa pelajaran hampir usai. Ketika sedang mencatat, tiba-tiba, ia menemukan sepucuk kertas entah dari mana asalnya. Namun, ia tak hiraukan, tak disentuh sama sekali.

Keasyikan surat khas santri, terputus dengan berakhirnya pelajaran. Seluruh santri membuntuti ustaz keluar dari ruang kelas. Dalam perjalanan menuju asrama, Raihan masih dengan buku catatan disandangnya. Tak terasa ada yang jatuh dari selipan bukunya. Ia mengambil sepucuk kertas yang jatuh itu kemudian ia membacanya.

Raihan. Assalamu’alaikum.

Semoga dengan surat ini tak membuatmu marah. Aku tahu kealimanmu ketika kamu tertunduk di depan aku saat menerima hadiah. Bahkan kamu tak melirik sedikit pun ke barisan santri putri. Kamu dengan gagah dan periangnya menjadi MC. Kau tebarkan senyum sepanjang acara. Aku sangat kagum. Namun, kekagumanku tak kuat aku pendam. Takutnya akan basi, membusuk, dan tak sempat kamu tahu baunya cinta yang membuncah-buncah dalam dada. Aku ingin sekali menjadi pilihan yang terbaik untukmu.
Atiyah.


Ada senyum terlukis di bibir Raihan, meskipun sosok wanita yang dikagumi banyak santri itu tak sedikit pun ia tahu paras wajahnya. Hanya suara emas yang membuat Raihan merinding. Namun, tak banyak harapan untuk menjadi kekasihnya, layaknya teman-temannya yang memperebutkan posisi Raihan ini. Tak ada satu pun teman Raihan yang mengetahui surat ini.

Ia lanjutkan perjalanan menuju asrama dan bersiap-siap melaksanakan salat Magrib berjemaah di masjid. Tak lupa buku catatan untuk kajian nanti malam ia siapkan kembali.

Kali ini mengaji di ruang kelas tujuh di mana gurunya adalah Ustaz Sulaiman.
Suasana riuh seperti biasanya di ruang kelas. Masih dengan sepucuk kertas yang lalu-lalang melewati papan pembatas. Kali ini, Raihan sempat menulis balasan sepucuk kertas dari Atiyah sebelum kedatangan ustaz.

Atiyah.

Terima kasih, aku apresasi atas kekagumanmu. Jujur, aku mengagumimu layaknya teman-temanku. Wajar, suara emasmu membuat takjub setiap telinga dan membuatku bertanya-tanya akan pemiliknya. Namun, aku tak kuasa barang menolehkan pandangan lekat-lekat kepadamu. Islam memenjarakanku dalam jeruji syar’i-nya. Bukan sebuah kekejaman, melainkan kemaslahatan. Biar nanti pada waktunya aku bisa mengungkapkan kekagumanku lewat jalan syar’i pula. Ya, jalan pertunangan dan berlabuh di pelaminan. Untuk saat ini aku masih memburu ilmu, menyiapkan diri untuk mengarungi samudera kehidupan. Selamat berjuang!
Raihan.

Sepucuk kertas itu sampai di tangan Atiyah secara estafet. Perlahan ia buka kertasnya. Perasaan haru sekaligus menusuk meliputi dirinya. Kenyataan Raihan tak memberinya ruang. Namun di sisi lain, ia turut mendukung sikap Raihan. Ia berpikir dewasa dan menyinggung sikapnya yang selama ini tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis.

Sepucuk kertas itu menjadi yang terakhir kalinya berbalas kata. Namun, ada janji yang mungkin bermuara pada suatu hari.

***
Fahad Ihsan Firdaus Sidik (12 Tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis. Ia aktif menjadi siswa kelas VII SMP IT Irfani Quranicpreneur Bilingual School. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Fahad Ihsan atau Instagram dengan nama: ffirdaus_07.