Cerita Jasmiko
Menurut sebagian besar masyarakat Desa Pongkol, lulusan pondok pesantren harus menjadi kiai, atau paling tidak ustaz. Saeran, salah satu lulusan pesantren Madiun, menjadi salah satu “korban” aturan tidak tertulis ini. Ia harus menjadi ustaz di masyarakatnya.
Sepuluh tahun mondok, Saeran tentunya sudah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat dalam urusan agama. Setiap hari selalu ada saja orang yang datang, entah itu untuk kepentingan berobat, pelarisan, nyuwuk, sampai cari jodoh.
“Gini, Ustaz. Anak saya sudah sakit lima hari, kok belum sembuh?” kata salah satu tamunya.
“Sudah dibawa ke rumah sakit, Pak?” balas Saeran.
“Belum. Tidak ada biaya,” keluhnya.
Saeran berpikir sejenak, “Sakit apa anak Bapak?”
“Sepertinya demam, Taz.”
Saeran lalu berpikir bagaimana cara mengobati anak orang itu. Sakitnya adalah demam maka ada beberapa tanaman obat yang bisa dipakai untuk mengobatinya.
“Nanti sore, Bapak ke sini lagi dan ambil satu gempol jahe di belakang rumah saya. Bapak ke sini setelah mendapatkan jahe tersebut.”
Si tamu merasa sudah menemukan jalan keluar untuk kesembuhan anaknya. Nanti sore, dia akan kembali lagi ke rumah Saeran untuk mengambil jahe, lalu mendapatkan perintah lagi tentang apa yang harus dia lakukan.
Dalam perjalanan pulang, si tamu bahagia sekali. Setiap orang yang ditemuinya di jalan, selalu dia beri cerita soal resep dari Ustaz Saeran.
“Ustaz akan mengobati sakit anak saya.”
“Sebentar lagi anak saya akan sembuh.”
“Ustaz memang ahli nyuwuk. Anak saya buktinya.”
Padahal Ustaz Saeran belum melakukan apa-apa untuk anaknya. Memang, kebanyakan orang percaya begitu saja dengan hal-hal mistik, tanpa mendalaminya terlebih dahulu.
Apakah memang benar seorang ustaz akan melakukan hal mistik untuk menyembuhkan anak Pak Koseni, si tamu? Kita tunggu sore nanti.
***
Sore hari datang. Sinar matahari terasa sejuk, meskipun masih sedikit panas. Dalam rumahnya, Saeran tengah menunggu seseorang yang akan datang. Orang yang dimaksud adalah Koseni, orang yang sedang mencari kesembuhan untuk anaknya.
Dalam rumah itu, Ustaz Saeran tinggal bersama dengan istrinya dan satu anak perempuan, lima tahun. Total ada tiga orang yang tinggal di rumah kecil di pinggiran sawah itu. Rumahnya terlihat sederhana, tetapi nyaman sekali suasananya.
“Apa Mas yakin anaknya Pak Koseni bisa sembuh dengan jahe?” tanya istrinya, ragu.
“Tidak ada salahnya mencoba terlebih dahulu. Setahuku, jahe memang salah satu tanaman obat yang berguna untuk mengobati demam. Semoga Allah lantaran jahe itu memberikan kesembuhan pada anak Pak Koseni.”
Koseni langsung menuju belakang rumah Saeran tanpa meminta terlebih dahulu karena tadi siang sudah mendapatkan perintah.
“Satu gempol saja, jangan banyak-banyak,” batin Koseni setelah berhasil mencabut satu gempol jahe.
Rupanya, di belakang rumah Saeran memang tertanam banyak tanaman obat-obatan, bahkan sayuran: kunyit, jahe, sirih, kangkung, bahkan mengkudu pun ada di sana. Tanaman itu dirawat sebaik mungkin oleh istri Saeran.
“Assalamualaikum, Ustaz. Saya sudah mengambil satu gempol jahe. Tanamannya subur-subur.”
“Waalaikumsalam. Silakan masuk. Saya akan memberikan resep untuk menyembuhkan anak Bapak,” sambut Saeran dengan ramah.
“Bagaimana, Ustaz, apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” Koseni rupanya bukan orang yang sabaran.
“Sabar, Pak. Begini. Nanti setelah pulang, Bapak cuci jahe itu, lalu campurkan dalam satu gelas air panas, tambahkan gula secukupnya. Setelah itu, bacakan surat al-Fatihah dua puluh satu kali,” jelas Saeran.
“Apakah tidak kebanyakan, Ustaz?” tawarnya.
“Bisa kurang, menjadi tujuh belas kali.”
Bapak Koseni masih mengira-ngira lagi. Rupanya, dia masih keberatan dengan jumlah bacaan yang harus dia baca.
“Saya tidak hafal surat al-Fatihah, Ustaz,” rupanya ini yang membuat dia mengeluh tadi.
“Baiklah. Besok-besok Bapak hafalkan. Bacaannya diganti saja dengan bismillah, 215 kali.” Mendengar ini, Koseni melongo dalam diamnya.
“Apakah tidak kebanyakan?”
“Bapak coba dulu, bismillah itu pendek. Mungkin hanya butuh waktu lima menit. Setelah itu, Bapak tiupkan pada jahe yang sudah diseduh tadi. Insyaallah, tidak lebih dari tiga hari, anak Bapak akan sembuh.”
Rupanya Koseni tidak menawar lagi, malu sendiri dengan Saeran. Dia beranjak meninggalkan Saeran. Dia meninggalkan dua bungkus gula dan kopi–bawaan wajib ketika sowan kepada ustaz atau kiai.
“Kok repot-repot,” basa-basi Saeran kepada Bapak Koseni.
Sepulang dari rumah Saeran, Koseni langsung mengaplikasikan apa yang diperintahkan. Dia merebus air, lalu memasukkan jahe dan menambahkan gula. Lalu, dia membacakan bismillah untuk nanti ditiupkan ke dalam air.
“Aduh, tadi berapa jumlah membacanya, kok jadi lupa.” Rupanya dia lupa jumlahnya.
Dia berpikir sejenak, lalu mendapatkan angka yang dianggapnya benar sesuai dengan perintah dari Saeran.
“Mungkin 315 kali. Ah, tidak apa-apa, yang penting yakin,” batinnya lagi.
Istri Koseni hanya memperhatikan dari kursi sebelah Koseni di ruang tamu. Dia amati betul apa yang sedang dilakukan suaminya. Koseni hanya bilang kepada istrinya bahwa dia telah sowan kepada Ustaz Saeran. Istrinya juga telanjur yakin dengan kemampuan Saeran bahwa dia bisa menyembuhkan penyakit.
“Bismillah hirohman nirrokim.” Bacaan itu ia ulang sampai 315 kali.
Selesai membaca, Koseni langsung meniupkan udara ke dalam gelas. Air liurnya sedikit ikut masuk ke dalam gelas, tetapi tidak sampai menambah jumlah air.
“Ini, Bu. Minumkan ke anak kita. Kata Ustaz, dua atau tiga hari lagi anak kita akan sembuh.”
Istrinya segera masuk ke dalam kamar anakya. Anaknya terlihat menahan rasa dingin pada tubuhnya. Selimut masih mengurung seluruh badannya.
“Nak, bangun dulu, minum air suwuk dari Ustaz Saeran,” kata istri Koseni sambil mengelus kepala anaknya.
Anaknya bangun, dengan sedikit mendapatkan bantuan dari ibunya. Pelan-pelan, anaknya meminum habis satu gelas air jahe, setelah yakin bahwa dia akan sembuh karena barokah Ustaz Saeran. Setelah selesai menghabiskan air tersebut, dia kembali mengurung diri pada selimutnya.
***
Satu hari berlalu setelah anak Koseni minum air jahe yang dianggap mendapat barokah dari Ustaz. Ada tanda-tanda bahwa dia akan sembuh. Keringat mulai keluar dari tubuhnya, berkat kehangatan selimut. Akhirnya, tidak sampai dua hari, anak Koseni sembuh.
“Ustaz Saeran memang manjur doanya, Bu. Nanti sore kita ke sana untuk mengucapkan terima kasih,” ucap Koseni pada istrinya.
Sementara di rumah Koseni anaknya sudah sembuh, siang ini Saeran kembali mendapatkan tamu. Apa lagi yang bisa Saeran selesaikan?
“Ustaz, saya minta bantuan untuk melariskan dagangan saya.”
Tamu itu adalah seorang pedagang. Rupanya, dia sedang mencari penglarisan untuk dagangannya.
“Apa yang Bapak perdagangkan?” tanya Saeran.
“Warung makanan, Ustaz. Maksudnya, dagangan saya itu berupa makanan. Semacam warteg mungkin, Taz.”
Saeran berpikir sejenak. Apakah jalan terbaik untuk ditempuh si tamu ini? Tidak lama, Saeran bisa menemukan solusi untuk tamunya yang meminta penglarisan untuk warungnya.
“Di mana Bapak jualan?” tanya Saeran.
“Di seberang pasar, Ustaz.”
“Biasanya, jam berapa Bapak membuka warung?”
“Jam setengah sembilan.”
“Bagaimana keadaan warung Bapak saat ini? Apakah ramai oleh pembeli?”
“Ah, sangat sepi, Ustaz, padahal sudah dua tahun saya dagang di sana. Karena itu, saya datang pada Ustaz untuk memberikan barokah pada warung saya,” jelas si tamu panjang lebar.
“Gini, amalan apa yang Bapak tidak berat melakukannya?”
“Semua amalan akan saya lakukan demi warung saya.”
Saeran geleng-geleng kepala dalam hatinya. Kok ada orang seperti ini? Apa sebenarnya yang dia cari di balik warungnya? Apakah dia hanya mencari keuntungan yang dianggap bisa membuat bahagia?
“Ini amalan yang harus Bapak lakukan. Jam tiga pagi, Bapak bangun, salat dua rakaat. Salat apa saja, yang penting salat sunah. Setelah itu, Bapak harus membaca surat al-Fatihah 21 kali, lalu tiupkan pada gelas penuh air putih. Setelah itu, Bapak minum air putih itu sampai habis.”
“Terus apalagi yang harus saya amalkan, Ustaz?” tanyanya tidak sabaran.
“Setelah itu, Bapak mulai saja memasak, kira-kira sekitar jam setengah empat pagi. Bapak harus membuka warung pukul setengah enam, paling lambat jam enam. Karena apa? Pada jam-jam tersebut, malaikat pembawa rezeki gelombang kedua hadir di bumi. Gelombang pertama sudah datang ketika Bapak salat pukul tiga tadi. Insyaallah, tidak sampai dua bulan warung Bapak akan laris,” jelas Saeran.
“Apa lagi yang harus saya amalkan, Ustaz?”
“Sudah. Itu saja cukup. Setelah dua bulan, Bapak datang ke sini dan ceritakan pada saya apa yang Bapak alami.”
Si tamu pedagang berpamitan, pergi dengan suasana senang. Mulai dini hari nanti, dia akan mengamalkan salat malam dua rakaat dan membaca al-Fatihah 21 kali. “Yang penting yakin,” batinnya dalam perjalanan.
Benar, pukul tiga kurang lima belas menit dia terbangun dengan bantuan alarm dan salat malam dua rakaat. Setelah itu membaca surat dan meniupkan pada air hingga habis.
Setengah empat, dia berangkat menuju pasar dan mulai masak di sana. Anaknya masih tertidur pulas di rumah.
Persiapan warung selesai pukul setengah enam kurang sedikit.
“Alhamdulillah, malaikat gelombang kedua belum pergi,” batinnya.
Pintu dibuka. Keadaan masih remang-remang. Dari sana, terlihat pasar sudah ingar bingar oleh pedagang dan juga pembeli.
Ketika dilihat dari pasar, tampak warung si tamu pedagang sudah terbuka lebar. Warung-kios di kanan kirinya juga ada yang sudah buka, ada pula yang belum buka.
Satu, dua, tiga, beberapa pembeli masuk ke dalam warung dengan belanjaan berat-berat. Si tamu pedagang senang sekali. “Rupanya, berkah Ustaz Saeran sudah sampai di warung ini,” pikirnya.
“Kopi hitam, satu.”
“Nasi pecel, tiga, bungkus.”
“Teh hangat.”
Dan masih banyak lagi yang memesan pesanan berupa makanan, minuman. Inilah yang dimaksudkan dengan berkah oleh si tamu pedagang.
“Ustaz Saeran memang hebat. Berkahnya besar sekali,” gumamnya dalam hati.
***
Dua hari berselang, datang lagi satu orang kepada Ustaz Saeran. Apa lagi masalahnya? Memang benar, pamor Saeran sudah terdengar ke berbagai desa sekitar. Jadi, wajar jika banyak tamu yang datang.
Tamunya kali ini adalah seorang pemuda, masih sangat muda. Kira-kira 27 tahun.
“Begini, Ustaz. Saya ini seorang pemuda, masih sendiri. Siapakah jodoh saya, Ustaz?”
Rupanya masalah pemuda ini adalah masalah jodoh. Tampang pemuda itu tidak terlalu buruk, juga tidak terlalu tampan. Sedengan. Berarti, apa yang harus dilakukan Saeran?
“Jodoh itu tidak perlu dicari. Bila sudah saatnya, dia akan datang sendiri. Persiapkan saja dirimu menjadi manusia baik, niscaya jodohmu juga akan baik. Banyak orang sekarang hanya menginginkan mendapatkan jodoh yang baik, sedangkan dirinya sendiri belum tentu orang yang baik.
Itu adalah kesalahan yang sangat sangat salah. Bagaimana tidak? Logika sudah mereka taruhkan sendiri.
Kita terkadang salah mengartikan ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa, ‘Orang-orang baik itu untuk orang-orang yang baik.’ Dengan menganggap diri kita adalah orang baik, dengan sendirinya kita menginginkan jodoh yang baik.
Alangkah baiknya lagi jika logika itu sekarang kita balik, persiapkan diri menjadi orang yang baik, niscaya pasangan kita juga akan baik. Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya,” jelas Ustaz Saeran panjang lebar.
Tamunya mendengarkan dengan takzim. Namun, tentang masuknya ilmu yang Saeran terangkan kepada dia, masih perlu dipertanyakan kembali.
Masalahnya, manusia tidak akan menerima sebuah kebenaran dengan begitu saja, meskipun sudah nyata-nyata benar. Malahan, terkadang manusia menjadikan sesuatu yang salah menjadi jalan hidup, padahal sudah nyata-nyata salah.
Karena apa? Manusia diciptakan lengkap dengan ego dan hawa nafsunya. Selama tidak berubah menjadi malaikat, manusia tetap akan mencintai manusia lain lantaran sebuah rasa.
Inilah lika-liku kehidupan manusia yang dianggap sebagai ustaz, belum lagi kiai. Oleh karena itu, sebagai santri kita perlu mempersiapkan diri matang-matang untuk menghadapi masyarakat kita untuk nantinya.
Madiun, 27 April 2020
***
(ed: Du)
Jasmiko (19 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Hikmatul Muhajirin yang beralamat di Prambon, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis dapat ditemui lewat Facebook (jasmikocahnganjuk.jasmiko).