Cerita Rofiatul Adawiyah
Hari itu, waktu menunjukkan pukul 6 sore. Setelah melipat sajadah, aku langsung menuju teras rumah, dapur, dan kamar mandi: ketiga tempat favorit yang biasanya Bapak dan Ibu manfaatkan sepulang bekerja untuk berbaring sebentar, mengambil air minum, dan membersihkan tubuhnya dari lumpur. Setelah memastikan ketiga tempat itu, terlihat hanya Bapak yang sedang berbaring di teras rumah.
“Ibu ke mana? Kenapa jam segini belum pulang? Apa jangan-jangan pick-up-nya mogok?” pikirku. Perasaan cemas membawaku pada jalan kecil yang berakhir di halaman rumah. Ketika aku melihat lebih jauh, berharap kutemukan langkah kaki Ibu.
“Ngapain kamu di situ?” Bapak dengan suara lantangnya yang berusaha memahamiku dari teras rumah.
“Ibu kok belum pulang juga ya, Pak? Ini sudah jam berapa? Tidak biasanya jam segini Ibu belum pulang,” tanyaku. Melihat ke arah Bapak, aku bisa menduga bagaimana pertanyaan itu juga memenuhi pikirannya.
Sepulang bekerja, Ibu akan segera membersihkan tubuhnya selepas seharian berada di tengah sawah untuk memanen jagung milik orang yang tak dikenal. Siapa pun orang itu bukan hal penting bagi Ibu. Hanya ada keyakinan untuk mendapat upah sebagai hasil kerja kerasnya.
Walau demikian, Ibu bukan orang yang tidak peduli akan sesama. Barangkali, akan sulit baginya untuk menghafal nama-nama pemilik sawah yang berbeda-beda setiap harinya.
Sebagai seorang istri, Ibu selalu bangun pukul 3 pagi. Ibu harus melayani Bapak yang juga bekerja di luar rumah sebagai buruh pabrik gula di daerah kota yang terletak cukup jauh dari desa kami. Biasanya Ibu memasak nasi tidak hanya untuk bekal Bapak bekerja, sebab Ibu juga membawa bekal setiap harinya. Sisanya diletakkan di atas meja makan sebagai jatah untukku.
Bapak berangkat pukul 4 pagi, tepat setelah azan Subuh berkumandang, dengan truk yang biasa menunggunya di pinggir sungai tak jauh dari rumah. Sedangkan Ibu berangkat pukul 5 pagi dengan pick-up berwarna hitam, apabila sawah yang dituju terletak jauh dari rumah. Truk dan pick-up itulah yang selalu membawa Bapak dan Ibu tiba di rumah sekitar pukul 5 sore dalam kondisi baik-baik saja.
“Mungkin ibumu sudah di jalan dan sebentar lagi juga sampai. Ayo, jangan di situ! Tidak baik, magrib begini masih di luar rumah,” kata Bapak. Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti perintah Bapak untuk segera masuk bersamanya.
Memang benar! Tidak lama kemudian, aku mendengar suara Ibu memanggil Tomas, kucingku.
“Tom, Tom …,” panggilnya. Mendengar suara Ibu seperti mendapat keajaiban yang luar biasa. Aku langsung beranjak menuju Ibu dan membuka pintu agar kucingku juga bisa menemuinya.
“Ibu kok tumben baru pulang? Biasanya juga tidak sampai jam segini? Pick-up-nya mogok, kah?” tanyaku.
“Tidak, pekerjaan Ibu baru selesai, Nak. Hari ini banyak yang harus dipanen,” jawabnya dengan raut wajah seolah menyimpan sesak di dada. Tidak biasanya Ibu menyembunyikan sesuatu dariku.
Tanpa bertanya lebih banyak, aku meminta Ibu untuk membersihkan tubuhnya yang penuh dengan lumpur dan rambut jagung. Anehnya, Ibu sengaja tidak menghiraukan permintaanku. Ibu malah berusaha menahanku untuk tidak segera masuk, seperti ada hal penting yang perlu dibicarakan padaku.
“Nak, ada yang ingin Ibu bicarakan padamu. Ini tetang mas iparmu, tetapi jangan sampai bapakmu tahu, ya! Kamu tahu kan, bapakmu orang yang keras,” ucapnya dengan suara lirih. Sebagai salah satu penghuni rumah selain Bapak, Ibu banyak memberiku kepercayaan termasuk menceritakan pernikahan Mbak Nur.
“Iya, ada apa dengan Mas Wahyu, Bu? Apa dia selingkuh?” sahutku.
Selama 13 tahun pernikahan Mbak Nur dengan Mas Wahyu, belum pernah ada rasa curigaku padanya.
Mas Wahyu memang laki-laki duda yang dikenalkan pada Mbak Nur oleh salah satu keluarga terdekat kami yang bekerja satu kantor dengannya. Mas Wahyu juga memiliki anak laki-laki dengan pernikahan sebelumnya. Sedangkan, pernikahan bersama Mbak Nur terlahir seorang anak perempuan bernama Aisyah yang saat ini berusia tidak jauh dari usia pernikahannya.
Tentang perceraian pada pernikahan pertamanya, banyak yang mengatakan kesalahan terletak pada mantan istrinya. Barangkali itulah alasanku memberikan kepercayaan padanya.
Entah kenapa, belakangan ini aku mencemaskan pernikahan mereka. Terlebih setelah mengetahui Mbak Ira, tetangga terdekatku, mengakhiri pernikahannya karena sang suami sudah lama tidak memberinya nafkah. Mas Topan, saudara kandung Mbak Ira, juga mengakhiri pernikahannya karena sang istri tidak bisa memuaskan hasrat birahinya setiap hari. Kemudian, Mas Sukri, saudara sepupuku, juga mengakhiri pernikahannya karena sang istri berselingkuh dengan teman kerjanya.
“Ibu juga tidak tahu, tetapi Ibu mendapat kabar tentang mas iparmu dengan tetangga sebelahnya. Kamu tahu, kan? Pemilik rumah yang menghadap ke arah selatan tepat di samping rumah mas iparmu itu. Ada yang mengatakan mas iparmu pernah berdua dengannya,” ucap Ibu lirih.
“Apa iya, Mas Wahyu tega mengkhianati Mbak Nur? Ibu tahu dari siapa?” tanyaku penasaran.
“Ibu juga belum yakin. Ibu baru mengetahuinya dari pemilik sawah yang dipanen hari ini. Pada saat Ibu istirahat dari memetik jagung, pemilik sawah menghampiri Ibu.
Awalnya dia hanya menyebutkan alamat rumahnya yang ternyata satu desa dengan mas iparmu. Setelah mengetahui Mas Wahyu adalah menantu Ibu, barulah dia mulai membuka cerita itu pada Ibu,” jelasnya.
Di satu sisi, aku mengkhawatirkan kejiwaan Ibu yang terlihat gelisah dan berpikir keras akan kebenaran cerita itu. Di sisi lain, aku pun mengkhawatirkan Mbak Nur.
“Dan lebih parahnya lagi, semua orang di desa itu sudah mengetahuinya. Ibu harus menanyakan soal ini pada mbakmu. Ibu ingin menegur mbakmu supaya tidak diam saja kalau suaminya memang benar berselingkuh dengan tetangganya itu,” jelasnya lagi.
“Ibu jangan gegabah dulu. Mungkin itu hanya gosip untuk menjatuhkan nama baik Mas Wahyu. Secara profesi, Mas Wahyu adalah seorang guru PNS dan perekonomiannya semakin membaik, sehingga akan sangat memungkinkan banyak orang yang iri padanya. Kalau memang Ibu ingin menginterogasi Mbak Nur, tolong jangan pakai emosi. Aku tidak ingin, Ibu memprovokasi Mbak Nur ke arah perceraian.”
***
Semenjak mendapat kabar itu, tentu hati Ibu semakin risau. Keesokan harinya, Ibu sengaja memilih untuk tidak bekerja. Ibu mendesakku untuk terus menghubungi Mbak Nur agar secepatnya datang ke rumah. Ibu khawatir, Mbak Nur tidak baik-baik saja di rumah suaminya. Ibu paham betul, Mbak Nur bukan tipe orang yang mudah menceritakan permasalahan keluarganya.
“Coba kamu hubungi mbak, tanyakan kapan dia akan ke sini menemui Ibu? Katakan juga Ibu sudah rindu dan ada yang ingin Ibu bicarakan padanya,” ucapnya.
Entah bagaimana sebuah kebetulan bekerja. Ketika panggilan keluar itu baru saja berdering, hanya dengan hitungan detik Mbak Nur sudah mengangkatnya.
“Halo, kebetulan kamu telepon. Kamu di mana, Dik? Buka pintunya! Mbak di depan,” ucap Mbak Nur dengan meyakinkan.
Mengetahui hal itu, Ibu langsung bergegas menemui Mbak Nur. Aku pun mengikuti langkah Ibu menuju Mbak Nur. Saat itu, aku berharap Mbak Nur datang bersama Mas Wahyu. Tetapi ….
“Lho, kok kalian cuma berdua? Suamimu ke mana?” tanya Ibu dengan semakin curiga.
“Mas Wahyu ke rumah temannya, Bu. Katanya ada kepentingan. Jadi, kami berpisah di jalan. Kebetulan Aisyah sudah bisa naik motor,” sahut Mbak Nur.
“Iya, Mbah. Aku sudah bisa naik motor. Ayo, Mbah mau ke mana? Aku antar,” ucap Aisyah dengan lantangnya.
“Wah, hebatnya cucuku, tapi hati-hati, ya, di jalan. Tidak boleh ngebut. Bahaya!” ucap Ibu pada Aisyah.
Kami pun segera masuk. Aisyah segera menghidupkan TV di ruang tamu. Ibu menuju dapur menyiapkan makanan untuk Mbak Nur dan Aisyah, sedangkan kami berdua menuju kamar Mbak Nur.
Mbak Nur segera meletakkan barang-barangnya yang berisi alat make up. Bisa diperkirakan Mbak Nur akan menginap di rumah.
“Mbak, Ibu hari ini sengaja tidak bekerja. Ada yang mengganggu pikirannya. Mbak tahu, Ibu sudah beberapa hari ini memintaku untuk menghubungi Mbak tanpa sepengetahuan Bapak. Bapak hari ini bekerja, jadi Mbak baru bisa ketemu Bapak nanti sore,” ucapku.
“Ada apa dengan Ibu? Apa Ibu pernah cerita sesuatu tentang Mbak?” tanya Mbak Nur.
“Tidak, Ibu mengatakan ada yang ingin dibicarakan dengan Mbak Nur.”
Jawabku, seolah tidak mengetahui gosip tentang Mas Wahyu yang pernah Ibu ceritakan padaku. Tidak lama kemudian, Ibu datang dengan sepiring kue cokelat yang bertabur keju.
“Aisyah mana?” tanya Ibu.
“Aisyah di depan, lagi nonton TV,” sahutku.
“Ya sudah. Nur, ini Ibu bawakan kue untukmu. Kamu pasti belum makan, kan?” tanya Ibu berusaha mengalihkan perhatian Mbak Nur yang sedang sibuk melihat isi lemarinya.
“Sudah kok, Bu, tadi sebelum berangkat ke sini kami sudah sarapan. Apa yang sedang mengganggu pikiran Ibu?” tanya Mbak Nur.
Aku hanya menunduk ketika Ibu mulai memandang ke arahku. Ibu paham betul pertanyaan Mbak Nur tidak akan mengalir begitu saja kalau aku tidak memberikan informasi padanya.
“Tidak, Nak. Ibu hanya mencemaskan keadaanmu. Apakah kamu bahagia?” tanya Ibu dengan suara lirih. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca, seolah tak sanggup bertanya sesuatu yang akan menghancurkan putri sulungnya itu. Ibu segera merangkul Mbak Nur dengan sangat erat.
“Maafkan Ibu, telah ikut serta menjodohkanmu dengan si Wahyu. Ibu tidak berniat menghancurkan hidupmu,” jelasnya.
“Aku tidak mengerti maksud Ibu. Aku bahagia. Aku berterima kasih pada Ibu yang telah menjodohkanku dengan laki-laki yang begitu baik dan bertanggung jawab,” sahut Mbak Nur.
“Dalam situasi seperti ini kamu masih saja menutupi semuanya dari Ibu. Nur, sadar, Nak. Kamu sudah terbuai oleh omongan manis suamimu. Dia itu sudah berselingkuh. Semua orang di desamu juga sudah tahu bagaimana kelakuan suamimu itu,” lanjut Ibu dengan suara lantang sembari melepas Mbak Nur dari pelukannya. Aku mencoba menenangkan Ibu dari belakang tanpa memberikan komentar apa pun.
“Ibu kata siapa? Ibu salah paham. Mas Wahyu tidak pernah berselingkuh, Bu. Ibu tenang dulu, Nur bisa jelasin,” ucap Mbak Nur.
“Nak, Ibu tidak rela putri sulung Ibu dipermainkan seperti itu,” lanjut Ibu.
“Iya, Nur mengerti, Bu. Tapi Ibu hanya salah paham. Wahyu yang dimaksud bukan suami Nur, melainkan Wahyudi yang kebetulan orang-orang juga memanggilnya Wahyu.”
***
(ed: Du)
Rofiatul Adawiyah (22 tahun) saat ini sedang menempuh jenjang strata satu di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember. Pemilik blog Jalanpikiran (@rrofiatul.blogspot.com/) ini bisa dihubungi di Facebook (Rofiatul) Instagram (@rofiatul_18).