Cerita Akhmad Faiz Mustangin
Awan mendung yang membungkus malam membuat para santri enggan begadang untuk menghafal seperti biasanya. Suhu dingin menjadi alasan mereka langsung menarik selimut setelah jam pengajian terakhir.
Suara burung pelatuk bak metronom mampu menghidupkan irama musik malam. Suaranya menjadi penghantar tidur sebelum bersimpuh memohon kepada Tuhan di sepertiga malam.
Malam ini tak seperti biasanya. Beberapa menit setelah pengajian jam terakhir, listrik di semua kompleks pondok mati. Menyisakan beberapa senter digantung di setiap sudut kompleks sebagai pengganti lampu penerangan.
***
Seorang santri ketiduran di jam terakhir pengajian. Ia tidak dibangunkan oleh teman-temannya ketika selesai mengaji. Sudah menjadi hal biasa, di pesantren memang banyak teman jail. Mereka sering membiarkan santri yang tertidur pada jam terakhir.
“Biar kedinginan,” kata mereka sambil tertawa kecil. Tak jarang pula santri yang ketiduran dijaili dengan meja belajar yang ditaruh di atas kepalanya. Ketika bangun, kepalanya menghantam meja belajar yang dipasang oleh teman-temannya.
Seorang santri tersebut ketiduran sambil duduk, sehingga santri lain tidak tertarik untuk mengerjainya. Mereka hanya meninggalkannya seorang diri saja.
Setelah selesai pengajian, para santri tidur. Suasana pondok amat sepi. Pada saat itu, seorang santri yang tadinya ketiduran sudah terbangun.
Dirinya melihat keadaan sekelilingnya sudah gelap dan suasana malam cukup mencekam. Hanya ada satu cahaya senter di pojok kiri, tepatnya di pelataran teras tempat dia mengaji.
Rasa takut sudah mulai ia rasakan. Ditambah lagi kakinya kesemutan dan menjadikan dirinya kesulitan berjalan. Ia kemudian menggeser duduknya untuk bersandar di tembok sembari meluruskan kakinya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk terlebih dahulu sembari menenangkan pikirannya. Belum sempat berdiri, ia melihat bayangan orang yang berjalan ngalor-ngidul di depan ruang ngaji-nya.
Pada awalnya ia sangat lega, dalam hatinya ia berkata, “Alhamdulillah ada orang, saya jadi tidak takut lagi.” Sambil mengembuskan napas penuh kelegaan.
Akan tetapi, dia mulai berpikir dan bergumam, “Kenapa orang itu bolak-balik di depan ruang ngaji? Padahal jam ngaji sudah selesai. Mujahadah sepertiga malam juga belum dimulai. Keadaan semua gelap dan jika itu memang manusia seharusnya ada suara kaki yang menapak di lantai. Lah, ini tidak ada suaranya sama sekali?” ia bertanya dalam hati.
Santri tersebut benar-benar melewati malam yang terasa panjang. Rasa takut mulai ia rasakan kembali. Keringatnya mulai bercucuran dan membasahi baju kusutnya, bahkan ia sama sekali tidak berani menengok ke jendela depan ruang ngaji-nya.
Rasa takut itu membuatnya ingin buang air kecil, tetapi ia benar-benar tidak berani bergerak sama sekali. Dia tahan rasa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Di tengah-tengah ketakutannya, ia ingat bahwa malam itu adalah malam Selasa Kliwon. Menurut orang Jawa, terkenal dengan peristiwa menakutkan dan tak kalah menyeramkannya dengan malam Jumat Kliwon.
Tak lama kemudian terdengar suara pukulan keras di pintu ruang kelas sebelahnya.
“Duarrr ….”
Suara pukulan keras itu memecah keheningan malam. Satu kali pukulan masih sanggup ia tahan keinginan buang airnya dan berlanjut pukulan kedua masih sanggup ia mencoba tahan.
“Duarrr ….”
Pukulan ketiga membuat dirinya tidak tahan dan mengompol. Terasa ada air hangat di lantai tanpa alas yang ia duduki. Santri itu tak kuasa lagi menahan kencingnya.
Bukannya lega, rasa takut dan malu terus menghantui dirinya. Ia melalui panjangnya malam itu, tanpa seorang pun yang mengetahui. Ia sampai tidak tahu pukul berapa saat itu, yang ia pikirkan hanyalah takut, malu, dan cara cepat untuk melewati malam itu. Pikirannya semakin kalut karena ia khawatir akan ada yang tahu bahwa dia yang pipis di ruang ngaji.
***
Beberapa waktu setelah itu listrik pondok menyala. Ia menengok jam dinding dan menunjukkan pukul 02:45. Seperempat jam sebelum mujahadah sepertiga malam dimulai.
Rasa takutnya mulai hilang, sarungnya pun sudah mulai kering. Lalu, ia berlari ke WC yang ada di sebelah ruang ngaji-nya untuk membersihkan diri.
Untungnya ketika ia kencing di sarung, kakinya sudah tidak menyilangkan lagi. Ia duduk selonjoran sambil bersandar di tembok sehingga ketika ia berlari ke WC, najisnya tidak menyebar ke mana-mana.
Pada pukul 03:00, ia sudah bisa mengikuti mujahadah sepertiga malam di musala bersama santri lain. Mujahadah dilakukan hingga hampir subuh, kemudian dilanjutkan salat Subuh berjemaah.
Setelah jemaah selesai, seperti biasa para santri bertebaran menuju ruang ngaji-nya masing-masing. Seorang santri Al Ibtidaiyah B yang pertama kali masuk ruangan merasa mencium bau aneh dan menyengat. Ia kemudian memeriksa sekitar ruang ngaji dan akhirnya ia menemukan bekas air kencing yang masih tersisa sedikit.
Satu kelas pun geger dan saling menuduh. Tetapi, setelah diingat bahwa tadi malam ada santri yang ketiduran ketika jam terakhir pengajian. Mereka secara tidak langsung sepakat dan tidak perlu mempermasalahkan hal itu.
Mereka mengganti waktu ngaji pagi itu dengan membersihkan ruang ngaji bersama-sama. Mereka membersihkan ruang sekaligus menerapkan pelajaran “cara menghilangkan najis” beberapa waktu lalu. Kegiatan tersebut sangatlah cocok karena mata pelajaran bakda subuh adalah fasholatan.
Akhirnya, santri yang ketiduran itu mengakui perbuatannya. Lalu, dirinya menghilangkan ‘ain dari najisnya. Teman-teman sekelasnya ikut membantu dengan mengambilkan air untuk mengepel. Guru yang mengampu mata pelajaran fasholatan pun ikut memandu.
Sampai beberapa hari, santri tersebut masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Bayangan apakah yang ada pada malam itu? Kini, peristiwa itu menjadi misteri yang belum terpecahkan. Santri tersebut hanya selalu bilang kepada santri lain setelah mengaji.
“Kang, ojo turu pas wayahe ngaji.” ‘Mas, jangan tidur ketika sedang mengaji.’
***
Akhmad Faiz Mustangin (20 tahun) merupakan santri Pondok Pesantren Al Luqmaniyyah, Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Faiz Mustangin atau Instagram dengan nama: @faizmustangin.