Tidak Hanya Virus, Kebaikan pun Juga Menular

Cerita Nadzif Fikri Abady
Sedikit banyak, dalam hidup ini kita pasti pernah mengalami momen-momen yang sangat sukar untuk dilupakan. Momen yang menginspirasi dan menjadi nilai moral yang terawat sepanjang ingatan. Mungkin fonomenanya sangat sederhana, tetapi nilai kemanusiannya begitu tinggi. Begitu pengalaman yang saya rasakan.

Ini terjadi pada saat liburan pesantren. Waktu itu saya kelas 2 SLTA. Seperti lumrahnya, saya dan beberapa sahabat yang kebetulan satu kelas membicarakan agenda refreshing. Kawah Ijen, satu destinasi wisata gunung berapi dengan danau kawah di tengahnya, menjadi pilihan kami berkunjung.

Kawasan ini terletak di antara dua kabupaten, Bondowoso dan Banyuwangi. Dengan kendaraan bermotor, kami berangkat via jalur Bondowoso. Perjalanan
cukup panjang dan memakan waktu cukup lama, karena kami harus menambal ban motor salah satu rombongan.

Matahari mulai terbenam. Setelah lepas dari daerah pemukiman, jalan mulai menanjak dan masuk ke hutan. Kami berhenti sejenak mencari kayu bakar di hutan seberang jalan. Tepat jam tujuh malam kami sampai di tempat besecamp dimana semua orang mempersiapkan pendakian.

Dari dua belas jumlah rombongan kami, hanya dua orang yang pernah berkunjung. Sialnya dua orang ini tidak memberi info lengkap tentang destinasi ini, termasuk perlengkapan yang harus dibawa dan ekstremnya suhu yang bisa saja kami hadapi. Sebagai informasi, suhu dingin di sini bisa mencapai angka empat hingga dua derajat selsius.

Saya ingat sekali saat hendak sholat, betapa dinginnya air kran wudu. Kami sembahyang sendiri-sendiri dengan kecepatan kilat dan sesingkat-
singkatnya, karena tidak tahan dinginya suhu udara. Bahkan mie rebus yang kami pesan dari warung makan pun mendingin begitu cepat.

Jalur pendakian baru akan dibuka jam tiga pagi. Kami akhirnya menunggu di lapangan luas tempat orang-orang membuat api unggun dan mendirikan tenda. Kami harus bertahan dari dinginnya malam hanya dengan setumpuk kayu bakar dan segulung tikar berukuran tiga kali lima meter.

Benar saja, dengan persiapan sesederhana itu, jam 12 malam persediaan kayu bakar kami sudah habis. Saya tidak bisa memejamkan mata. Kedua kaki tidak henti-hentinya bergetar. Mulut terus menggigil kedinginan. Akhirnya kami mengumpulkan sisa-sisa kayu bakar para pendaki yang sudah tak terpakai.

Pendakian pun dimulai. Jarak yang harus kami tempuh untuk mencapai puncak adalah 2.799 meter di atas permukaan laut. Langit masih gelap. Kami menggunakan lampu sorot untuk menerangi jalan yang menanjak. Masih setengah perjalanan, salah seorang dari kami mengeluh pusing dan mual. Dia merasa tidak sanggup lagi melanjutkan pendakian.

Kami bersitirahat sejenak dan rembukan, apakah harus melanjutkan perjalanan atau kembali turun sebab kita sudah sepakat untuk tetap bersama-sama. Jika seorang turun maka semua juga harus turun dan begitu pun sebaliknya.

Akhirnya kami putuskan untuk tetap melanjutkan pendakian dengan merangkul dan mendorong teman kami yang sedang kecapean
tersebut.

Pukul enam pagi kami sampai di puncak. Nampaknya penderitaan yang kami lalui terbayar sudah dengan indahnya pemandangan kawah yang hijau. Kawah yang memiki kedalaman dua ratus meter dan luas lima ribu lebih hektar ini memang merupakan danau air asam kuat terbesar di dunia.

Ini masih ditambah dengan indahnya fenomena api biru di dasar lereng yang dikenal dengan blue fire. Api itu sering membuat penasaran para pengunjung. Tak heran bila wisatawan baik lokal maupun mancanegara berdatangan ke tempat wisata ini.

Suhu udara mulai menghangat oleh sinar matahari. Setelah puas berswafoto dan menikmati indahnya alam selama tiga jam, kami kembali ke camp peristirahatan di bawah. Tanpa istirahat kami langsung tancap gas dan bergegas pulang, meski harus melewati jalan naik turun bukit melewati hutan dan perkebunan.

Perjalanan pulang di siang hari selalu terasa lebih ringan karena tak terhalang oleh kabut. Berboncengan dengan salah satu teman, saya berada di barisan paling belakang rombongan.

Perjalanan melewati hutan dan perkebunan masih setengah jalan. Saya melihat tanjakan. Teman-teman di depan memacu kendaraannya lumayan cepat. Saya pun terus menyusul di belakang. Tiba-tiba motor melambat, mesin perlahan mati. “Ah, sial!! Pasti bensin motor habis,” gerutu hati saya.

Benar saja, saya lupa mengecek tangki bensin sebelum pulang. Kami berdua meneriaki rombongan yang masih terlihat di depan, tetapi sia-sia. Mereka sudah terlalu jauh dan teriakan kami tersapu oleh derasnya angin.

Handphone saya sudah kehabisan baterai, sedangkan milik teman masih hidup tetapi percuma tidak menemukan sinyal. Untuk dapat menemukan penjual bensin saya harus menempuh jarak tiga kilo meter kembali ke belakang atau terus menuju arah depan dengan jarak yang sama. Ah, tapi jalannya sama saja
harus naik turun melawati perbukitan. Kami berdua perlahan mendorong motor sambil berharap barangkali ada pengendara lewat dan mau membantu.

Menit demi menit berlalu. Terlihat dua orang pengendara melaju naik ke atas. Sayangnya mereka hanya melirik dan terus melanjutkan perjalanan. Saya menepikan motor dan beristirat sejenak. Teman saya mulai menggerutu tak keruan.

Jalan masih terlihat sepi. Cukup lama kami duduk di pinggir jalan. Kemudian dari depan ada pengendara motor yang lewat. Terlihat seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun bersama istrinya. Mereka menghampiri dan
menanyakan kondisi kami berdua.

Setelah dijelaskan bahwa motor kami kehabisan bahan bakar, bergegas beliau menyalin sebotol bensin dari tangki motornya kemudian diberikan kepada kami. Kami sangat berterimakasih kepada mereka. Saya menyodorkan uang sebagai ganti dari bensin yang beliau berikan. Namun, beliau menolak.

Lelaki paruh baya itu dan istrinya yang ternyata baru pulang dari kebun. Mereka melanjutkan perjalanan. Mesin motor kembali hidup dan kami bergegas menyusul rombongan di depan.

Satu tahun kemudian liburan pesantren di bulan Ramadan datang. Kami satu kelas hendak mengadakan buka bersama dir umah seorang teman di daerah Kayumas, Situbondo. Saya berangkat bersama teman-teman dari kota Bondowoso. Ternyata perjalanan cukup jauh karena tempat tuan rumah cukup pelosok. Kami harus melewati hamparan sawah dan naik turun bukit yang tertenam pohon jati.

Di tengah perjalanan, terlihat seorang kakek sedang tergepoh-gepoh mendorong motornya di tanjakan jalan. Ternayata motornya sedang kehabisan bahan bakar, sedangkan tempat penjualan bensin masih beberapa kilo lagi di depan.

Seketika saya menepi untuk membantu. Untungnya tangki motor saya terisi penuh, sehingga saya dapat berbagi bahan bakar. Dengan selang kecil saya saya salurkan bensin ke motor beliau. Setelah motor si kakek hidup, kami pun melanjutkan perjalanan.

Entah kenapa setelah menolong tadi saya menajdi teringat peristiwa setahun yang lalu, ketika kondisi saya persis seperti kakek tadi; kehabisan bensin di tengah jalan bukit dan jauh dari tempat pengisian bahan bakar.

Saya mengira kehendak atau rasa untuk menolong dalam diri itu tidak
muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh dan berkembang oleh pelajaran dan pengalaman. Saya yakin sekali lelaki yang menolong saya waktu itu telah menanam suatu benih yang berharga dalam diri saya, yaitu kepedulian; kepedulian untuk membantu mereka yang sedang kesusahan, kepedulian untuk selalu menebarkan kebaikan dan suatu pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan.

Itu juga mengingatkan saya atas apa yang pernah disampaikan oleh Kiai ketika pengajian bandongan sore di pesantren. Waktu itu beliau pernah ngendikan, mengutip potongan hadis dari kitab Riyāḍuṣ-Ṣāliḥīn karya Imam an-Nawawī. Nabi bersabda “wallāhu fī ‘aunil-‘abdi mā kānal-‘abdu fī ‘auni akhīhi (Tuhan
akan senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba-Nya menolong saudaranya).”

***

(ed: Du)

Nadzif Fikri Abady adalah alumni Pesantren Nurul Jadid, Paiton, dan sekarang sedang nyantri di Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta. Abady bisa dihubungi melalui akun Instagram (@nadziffikri).