Too Kompak

Cerita Elaine Zahratul Ula (12 Tahun)

Malam ini adalah malam paling mengerikan bagi Alzane Lee, yang akrab dipanggil Jane. Gadis berusia 15 tahun itu mendapat nilai paling jelek di kelasnya, kelas 10 MIPA 3.

“Nilai, Pa,” jawabnya santai.

Papanya semakin mengerutkan keningnya. Beliau tampak marah ketika putri bungsunya mendapat nilai jelek dalam beberapa bulan menjelang ujian kenaikan kelas.

Kertas yang tadi digenggam oleh papanya, kini dilempar ke lantai hingga kertas-kertas itu beterbangan.

“Papa enggak mau lihat kamu begini terus! Mau sampai kapan kamu dapat nilai jelek? Enggak malu dapat nilai segitu?” sindirnya.

Jane hanya mengangguk sambil memakan camilan yang ia bawa. Dirinya tampak tenang dan santai, tetapi tidak dengan hatinya. Sungguh saat ini, ia hanya ingin menangis karena ia terkejut papanya tega melempar kertas itu ke lantai.

Setelah Papa pergi, Jane langsung berlari menuju kamarnya di lantai dua.

“Hh … Ngantuk!” ujarnya lalu menggeliat di kasur.

“Kreek …,” pintu terbuka, terlihat seorang pemuda berpakaian kaus putih polos dengan celana pendek warna hitam berjalan ke arah kasur Jane. Bola matanya terus melihat ke arah Jane yang sedang rebahan. Ia terlihat seolah-olah ingin menanyakan sesuatu penting.

“Jen …,” ucapnya satu kata. Jane langsung menoleh ke samping.

“Apa?” tanya Jane. Pemuda itu tersenyum. Matanya yang sipit menjadi sangat sipit ketika sedang tersenyum.

Dia Alzeno Lee, biasa dipanggil Jeno. Jeno memiliki postur tubuh tinggi dan berotot, membuatnya tampak sempurna di mata para wanita.

Jeno memeluk tubuh mungil adik bungsunya itu seraya berkata, “Enggak papa soal nilai itu, kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Jangan terlalu dipikir.”

Mata Jane berkaca-kaca lalu ia menangis di pelukan sang Kakak.

Kakaknya itu seperti seorang malaikat. Sifatnya baik dan lembut. Jane sangat menyukainya, namun jika kakaknya sedang jahil, ia merasa kesal.

***

Paginya di sekolah, Jane duduk di pojok ruangan ketika jam istirahat. Ia malas untuk pergi ke kantin. Ia menunggu teman-temannya kembali dari bolos kelas hari ini. Hal itu sudah menjadi tradisi bagi murid-murid kelas 10 MIPA 3, terkecuali Jane. Akhir bulan ini, ia harus fokus belajar untuk memperbaiki nilainya yang jelek.

Sudah beberapa menit kemudian, teman-temannya tak kunjung datang. Alhasil Jane-lah yang harus pergi menemui mereka.

“Jeeen lo kenapa enggak ikutan bolos??” teriak Roje, sang ratu cerewet.

Kupingnya sakit, itu yang Jane rasakan sekarang.

“Enggak bisa, mau fokus belajar,” jawab Jane santai.

Alaska yang sedari tadi diam kini menoleh ke arah Jane.

“Biasanya lo juga enggak peduli soal nilai. Terus tiba-tiba jadi pengin fokus belajar, kenapa?” tanya Alaska.

Jane bungkam. Ia tidak mungkin menceritakan kejadian semalam kepada teman-temannya. Jika ia bercerita, mereka malah terbebani dengan masalahnya.

“Kayaknya gue ngerti kenapa. Soal nilai lo, kan? Pasti orang tua lo enggak terima karena lo dapat nilai segitu,” tebak Malvir.

Jaemin Malvir Ramadhan, namanya. Cowok tampan yang terkenal dengan sebutan the second Dilan. Tak heran teman-temannya memanggil Malvir begitu karena wajahnya mirip sekali dengan tokoh di film Dilan.

“Kok kamu tau?” Malvir tersenyum. Lalu menunjukkan sesuatu dari layar handphone-nya.

Telepon dengan Jeno selama tiga jam. Sudah Jane duga, pasti kakaknya yang menceritakan masalahnya ke Malvir. Hanya Malvir, teman satu kelas Jane yang dekat dengan kakaknya.

“Serius Jane?” tanya Geisha dengan wajah memelas.

Jane tersenyum seraya mengangguk.

Seketika suasana menjadi hening. Jane hanya diam mematung di pojok kursi. Lalu ia merasakan ada seseorang yang merangkul pundaknya. Malvir, dilanjut teman-temannya yang lain.

“Tenang Jen, kita semua di sini bakal bantu lo. Jangan terlalu dipikir. Kita bakalan bantu lo untuk mendapat peringkat pertama,” ucap Celine meyakinkan.

“Iya Jen, jarang-jarang kan ada yang bisa ngalahin Doy,” Roje menambahkan. Lalu semuanya tertawa.

“Enggak bisa, gue enggak bakalan bisa dikalahin,” sela Doy yang merasa tersindir.

Jane tertawa.

***

Kelas 10 MIPA 3 itu memang anak-anaknya tidak terduga. Mereka kalau sedang berguna bagi temannya, ya benar-benar berguna. Jane diam-diam berharap, jika nanti mereka berpisah, semoga mereka masih ingat momen-momen terindah yang pernah mereka rangkai satu per satu.

Cerita tentang momen-momen awal pertemuan mereka, awal pertengkaran mereka, bolos satu kelas dan dihukum bersama satu kelas, hingga momen-momen ketika mereka terkenal satu per satu karena kekompakan yang luar biasa.

Jane tidak akan pernah lupa itu. Tidak akan pernah. Baginya, kelas 10 MIPA 3 sudah seperti keluarganya sendiri. Keluarga yang sebenarnya , keluarga yang bisa mengembalikan kesedihan menjadi tawa bersama. Tak mengherankan, tempat berpulang yang paling nyaman ya hanya bersama teman-temannya di kelas 10 MIPA 3.

Mereka begitu berharga di mata Jane sehingga Jane ingin menangis ketika mengingat-ingat momen tersebut. Mereka tolong-menolong dengan tulus tanpa ada rasa dengki.

***

Elaine Zahratul Ula (12 tahun), merupakan santri kelas 7 SMP Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Ia tinggal di Bantul, Yogyakarta. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: @bbyraa21.