Tradisi Mayoran, dari Pesantren Sampai Anjuran Rasulullah

Esai Muhamad Nur Ma’ruf

Santri identik dengan rasa solidaritas dan kebersamaannya. Ketika di pesantren, para santri didorong untuk saling bekerja sama dan berbagi satu sama lain. Tidak aneh lagi, kehidupan sehari-hari mereka biasa menggunakan satu barang yang digunakan sendiri akan rela dibagi-bagi dan dipakai secara bersama-sama.

Para santri dibiasakan untuk menjalani perilaku baik dengan landasan ritus moral keagamaan secara bersama-sama. Seperti salat berjemaah, mujahadah, mengaji, salat sunah, puasa sunah hingga sedekah. Banyak kebiasaan saleh yang mereka istikamahkah setiap harinya.

Waktu tidur mereka cenderung singkat karena jadwal di pesantren sangatlah padat. Tidak jarang ketika mengaji atau sekolah banyak di antara mereka terlihat kelelahan dan sampai ketiduran. Bahkan mereka lakukan secara berjemaah pula.

Ada satu hal unik yang sering dilakukan oleh para santri, yaitu kebiasaan lengseran atau sering disebut mayoran. Mayoran adalah makan secara bersama-sama (berkelompok) dalam satu wadah. Tempat makan umumnya  disebut lengser (bahasa Jawa) atau dalam bahasa Indonesia dinamakan nampan atau baki.

Nampan dibeli oleh semua anggota kelompok makan dengan cara iuran setiap anak. Satu nampan biasanya beranggotakan maksimal sepuluh orang, tetapi bisa jadi lebih dari itu. Hal itu tergantung pada banyaknya anggota kelompok makan dalam satu nampan. Setiap kelompok makan memiliki cara sendiri untuk pembagian kerja. Setiap santri akan mendapat jatah mengambil nasi dan lauk secara bergilir meskipun hanya sekadar isyarat lisan saja. 

Kebiasaan mayoran menjadi panggilan batin bagi setiap pribadi santri. Artinya tidak ada paksaan di antara mereka. Peraturan pesantren juga tidak mengharuskan untuk makan secara mayoran.

Banyak manfaat dapat diambil dari kebiasaan mayoran atau lengseran. Kebersamaan dan kekompakan merupakan wujud nyata. Bahkan mengenai keutamaan makan secara bersama-sama, Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis dari sahabat Wahsyi bin Harb dan diriwayatkan oleh Abu Dawud:

عن وحشي بن حرب رضي اللّه عنه أن أصحاب رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قالوا: يا رسول اللّه إنا نأكل ولا نشبع؟ قال: فلعلكم تفترقون قالوا: نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه. رواه أبو داود

“Bahwasanya para sahabat bertanya kepada Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam, ‘Mengapa kita makan tetapi tidak kenyang?’ Rasulullah balik bertanya, ‘Apakah kalian makan sendiri-sendiri?’ Mereka menjawab, ‘Ya (Kami makan sendiri-sendiri).’ Rasulullah pun menjawab, ‘Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmallah maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua.’” (HR. Abu Dawud)

Diriwayatkan juga dari sahabat Anas r.a.:

وقال أنس رضي اللّه عنه كان رسول اللَّه صلى اللّه عليه وسلم لا يأكل وحده وقال صلى اللّه عليه وسلم خير الطعام ماكثرت عليه الأيدى

Dari sahabat Anas radliyallahu ‘anh berkata bahwa Rasulullah tidak pernah makan sendirian. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan banyak tangan.

Berawal dari sebuah kebiasaan para santri terdahulu, sampai kini kebiasaan mayoran sudah menjadi tradisi mengakar di setiap pondok pesantren. Mayoran menjadi wujud asli kebudayaan pesantren yang harus tetap dilestarikan sampai kapan pun.

Mengingat mayoran adalah sebuah tradisi pesantren yang sangat banyak manfaat, keutamaan, serta keberkahannya. Tradisi mayoran membentuk watak kebersamaan para santri sehingga tidak jarang para alumni pesantren rindu tradisi mayoran atau lengseran tersebut.

***
Muhamad Nur Ma’ruf (19 tahun), mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan alumni PONPES API ASRI Syubbanul Wathon Tegalrejo, Magelang. Penulis dapat ditemui lewat Facebook dengan nama: Muhamad Nur Ma’ruf atau Instagram dengan nama: mamuhamadnur.