Puisi-Puisi Hamadya Hilma: Ingatan Anak akan Bapaknya – Bagaimana Kau Ku Namai

Puisi-Puisi Hamadya Hilma

Bagaimana Kau Ku Namai

Bagaimana aku memujimu
Menggunjingmu pun
Kasih sayangmu mengalahkan semuanya
Bukankah sebuah kata,
Yang menghujat lubuk hati
Lebih menyayat dari
Rona kengerian pukulan

Lantas, bagaimana nasib kasih sayang itu
Sedangkan lubuk hati kau punya seharusnya berbercak darah

Sungguh,
Bagaimana kau ku namai
Adalah sumpah serapah bagi harapan itu tumbuh

Taggal 10 Rajab 1441
Meskipun aku masih gagap merapalkannya,
Dan bagaimana pula
Aku masih bimbang lebih dulu mana antara toleransi dan kasih sayang
Lebih mendahului bimbangku mana dulu antara ayam dan telur itu ada

Lantas, bagaimana kau ku namai
Detik di saat aku ingat betul petuah itu
“Tidak penting apa pun agama dan sukumu.
Kalau kau bisa berbuat baik
Bagi semua orang. Orang tidak akan
Tanya apa agamamu.”
Celoteh Bapak Tionghoa itu pun semakin
Menggoyahkan betapa kesumat dan murung ati
Mempersoalkan ketidakpastian
Melusuhkan akal seperti terkulai di atas tanah
Persis pada saat perang Jawa itu terjadi

Lantas, bagaimana kau ku namai
Secara habis-habisan akalku ku bentur hingga aku dapati
Falsafah sederhana dari lubuk hati bergumam
Toleransi diburai angin
Akan menjadikannya kasih sayang,
Sehingga kasih sayang yang terburai olehnya
Dirajuk kembali menjadikannya toleransi

Hingga petuah Semar itu aku ingat betul
Bahwa hidup itu menghidupkan
Dan aku dapati kesimpulan,
Toleransi dan kasih sayang adalah
Satu hal yang hidup dan menghidupkan

Lantas, aku pun gamang
Bagaimana kau ku namai?

Paiton, 11 Maret 2020

***


Ingatan Anak akan Bapaknya


Rona kengerian meremang bulu kudukku
Ketika kau pernah bercerita
Bahwa siapa ikut gerakan merah itu
Akan terhuyung dalam sumur*
Hingga haru-biru partai mereka
Tiada batas hari meregang nyawa

Aku ingat betul
Kursi dipan di dapur makan
Utara tempat persembahyangan kita
Kau selalu berceloteh laiknya pencerita andal
Ketika matahari mulai lusuh dan ringkih
Betapa masygul kau,
Saat jewantahanmu pun mulai kau ceritakan
Hingga,
Cengar-cengir kupunya ati

Namun,
Ketika daun memba** itu teranyam oleh lidahku***
Saat-saat kecil tubuhku bergeming
Menyuarakan isak tangis mengganggu malam

Inilah aku pertama kali
Mengenal, bahwa murka lebih terlihat
Dari rona wajahnya ketimbang kelembutan

Saat remaja tiba,
Mengingat hari di mana rangkakku masih tertatih itu
Aku pun bergumam dalam lubuk paling dalam
“bagaimana pun tindakannya, kutak terima andai ia menjadi guruku”
Namun kado Tuhan bagiku
Sebagaimana layaknya ia menjadi Hyang Widi
Adalah menjadikanku bagian dari keluarganya

Sungguh, bagaimana hasrat aku
Menggunjingnya,
Samista alam lebih menyukai memayungiku
Dengan lautan kasih sayang empunya si Bapak
Akhirnya,
Sayatan luka hati kumiliki
Temaram dalam kerindangan puncak rahmatnya

Saat-saat dewasa ketika aku
Mengenal Ibnu Rusyd
Sebagai filosof awal abad-12
Aku masih mengenalmu
Sebagai Bapak Rusdi biasa,
Orang Mapper, Proppo
Yang meminang orang Pesisir
Utara Selat Madura itu,

Keharibaan waktu saat itu
Lebih mengikatkanku bagaimana
Kesumat dalam hati
Tak kelabu lagi
Namun,
Bagaimana pun aku, Ibnu Rusyd
Si Anak empunya sang Bapak
Mengakui kelihaiannya masih tergagap
Dengan Averroes itu,

Sampai kau dapati aku berada dalam bedil;
memisahkan nyawa dari badan
Walaupun aku masih ingin
Mayat yang dikubur, adalah
Dia yang mati dengan wajar****
Akan kurapalkan dalam sumpah serapahku
Pada setiap malam Jumat kala kemenyan itu
Mengasap dengan tinggi,
Aku akan rapalkan namamu
Hingga tahuku akan Averroes itu
Hilang seperti aku tak pernah
Mengetahuinya,

Paiton, 11 Maret 2020

Cacatan :
*: Setiap senja tiba, Bapak sering menceritakan bagaimana tutur dari sesepuhnya dulu bahwa di balik sumur samping rumahnya pernah terjadi pembunuhan sadis terhadap anggota PKI pada tahun 1965.
**: Sejenis daun yang biasa orang Madura kenakan sebagai ramuan herbal sekadar kekebalan jasmani.
***: Pada saat aku kecil, ketika tangis mulai melengking pada suatu malam. Pernah pada saat itu pula dengan kegeramannya ia menelankan jamu itu mentah-mentah ke mulutku.
****: Kalimat ini adalah ubahan yang diambil dari salah satu prolog Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

***

Hamadya Hilma (16 tahun)  adalah nama pena dari Faizis Sururi. Ia merupakan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Ia berasal dari Kaduara Timur-Pragaan Sumenep, Madura. Penulis dapat ditemui lewat Instagram dengan nama: FAIZ_IS.S.